Adakalanya kita
boleh kecewa atau merasa kurang sreg dengan orang lain di sekitar kita. Tetapi,
hal itu bukan berarti kita bisa jadikan alasan mutlak untuk mencelanya. Allah
berfirman, “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (QS. Al-Humazah:
10)
image source: kajialquran.blogspot.com |
Kita semua layak
memiliki idealisme, tetapi ketika itu menyangkut orang lain atau keadaan di
luar kita yang tak mungkin memaksakannya maka saat itu kita wajib meluangkan
pemaklumam secukupnya. Orang bijak adalah orang yang mampu memahami realitas
sekaligus menyikapi sesuai kadar dan kondisinya. Terhadap kebaikan, kelebihan, dan prestasi kita patut memujinya. Terhadap kekurangan dan kegagalan, bukan berarti boleh mencela, justru kita
wajib menahan diri dari mencelanya.
Sungguh naif
jika setiap kekecewaan diungkapkan dengan celaan. Berikut adalah alasannya:
Pertama, oleh
karena di dunia ini tidak ada yang sempurna kecuali Robb alam semesta. Setiap
makhluk menyandang cela dan setiap kondisi akrab dengan kekurangannya. Ya, cara meyikapinya adalah dengan mengutamakan sikap relatif tentunya. Nah, jika setiap kekurangan memancing kita untuk
berkomentar miring, betapa banyak energi yang harus kita buang percuma. Orang
mulia tak melakukan perkara percuma,tetapi sibuk dengan hal yang positif bagi
sesama.
Kedua, bukankah
pada diri sendiri juga punya kekurangan, mengapa hanya melihat kekurangan orang
lain saja, atau mencela kondisi di sekitarnya. Orang baik-baik adalah orang
yang pandai dalam berkaca, bahkan jika perlu mencukupkan diri dengan kekurangan
pribadinya dan sibuk untuk memperbaikinya.
Ketiga, sungguh,
mencela makhluk sama halnya mencela Khaliq. Fakta ini jarang difahami padahal
merupakan perkara yang melampaui batas sehingga penting untuk diperhatikan.
Keempat, mencela
adalah bentuk ekspresi negatif yang berakibat negatif pula. Bagi tukang cela, adalah
cermin betapa tidak fahamnya si pencela akan kenyataan dan persoalan (yang dibutuhkan persoalan adalah solusi bukan celaan), sekaligus tanda akan kelemahan dirinya
sendiri. Sedangkan bagi yang terkena celaan, langsung maupun tidak langsung,
bisa menjadikan sikap rendah diri, patah semangat, dan frustasi bahkan bisa memupuk sifat dendam yang merugikan ke depannya.
Begitulah,
mencela memang pekerjaan mudah dan siapapun bisa melakukannya. Sedangkan
menahan diri dari mencela butuh usaha ekstra, dan hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang mulia dan punya harga diri. Lihatlah Rasulullah saw tidak pernah sekalipun
mencela makanan yang dihidangkan kepadanya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah
berkata, “Rasulullah saw tidak pernah sama sekali mencela makanan, kalau
berselera beliau makan, kalau tidak berselera beliau tinggalkan.” (Muttafaq ‘alaih)
Juga saksikanlah
para sahabat, yang selalu bisa mendudukkan orang lain sebagaimana Allah telah
mendudukkan mereka. “Sesungguhnya orang yang paling mulia di kalangan kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Wallahu'alam.
0 Response to "Mencela; Tega Nian Dikau"
Posting Komentar
Silahkan berkomentar