Surat dan Sirat Cinta

Cinta. Sebuah hal yang lumrah saat ini. Sangkin lumrahnya makna cinta itu sudah bergeser dari posisinya. Tidak lagi seindah dahulu, tidak lagi sekuat dahulu, dan tidak lagi sesejati dahulu. Mungkin karena cinta itu tidak lagi mengakar pada akar yang tepat sehingga siratannya kabur dan suratannya dipenuhi omong kosong belaka.
Saat ini, suratan cinta adalah jurus klasik pengutaraan kasih sayang. Apalagi dari hal itu kita mengorek makna dalam-dalam, maka sungguh kita tertipu akan kiasan-kiasan konotasi menjanjikan. Melihat keindahan akan terlihat keindahan. Mengagumi kesempurnaan akan terlihat kesempurnaan. Semuanya terlihat sempurna dari kaca mata subjektif.
Sesungguhnya siratan yang biasanya tak tampak adalah hal yang luput dari suatu penilaian. Bentuk kekonkritan kepedulian sebenarnya bersinergi dalam setiap kembang-kempis nafas lelah pembuktian. Seharusnya, tak sekedar ucapan cinta itu menjelma menjadi air mata. Tak segan-segan cinta itu juga bisa berwujud darah. Kaca mata mata subjektif tertipu karena memandangnya sebagai ketidakadilan. Namun, itulah sebenar-benar denotasi yang objektif.
Berkhianatkah Ibrahim ketika dia tinggalkan Hajar dan Ismail di padang gurun yang tandus. Dia lupakan kisah penantian kehadiran anaknya demi satu perintah. Satu perintah yang kering suratan rasa cinta. Cinta mana yang tega membiarkan Hajar dan Ismail sendirian di padang gurun yang mengancam? Namun, cinta Ibrahim rela untuk meninggalkan mereka. Semakin menjadi-jadinya ujian cinta itu, Ibrahim dituntut untuk menyembelih Ismail sang buah hati. Lagi-lagi, cinta mana yang sanggup memutus nyawa curahan hati? Cinta Ibrahim-lah yang menyembelih leher Ismail.
Itulah Ibrahim sosok pencinta sejati. Beliau adalah sosok yang benar-benar mengetahui seluk beluk cinta. Tidak gampang menentukan mana cinta sejati itu. Dan beliau adalah termasuk hamba yang berhasil mendapatkan cinta sejati itu.
Tak bergeming sedikitpun dengan kegalauan hati beliau ketika perintah mengasingkan anak dan istrinya diterima. Beliau bisa memahami bahwa sang Khalik sedang menguji kekasih-Nya. Beliau paham bahwa cinta bukanlah rayuan gombal semata. Cinta bukanlah hanya bentuk kesenangan dari Kekasih. Tapi, cinta adalah bentuk kesetiaan tertinggi terhadap Kekasih walau bagaimanapun kondisinya.
Beliau tak mundur dengan kebusukan setan. Fitnah setan yang menyajikan cinta semu, meletakkan prioritas cinta tidak pada tempatnya. Tiga kali fitnah itu datang, maka tiga kali pula Ibrahim mengukuhkan cintanya.
Dan sungguh indah cinta itu. Cinta Ibrahim dibalas dengan cinta Hajar dan Ismail. Suratan cinta yang tak bisa menggambarkan berjuta-juta makna cinta. Hingga sekarang cinta yang berpadu itu menjadikan kota suci Mekkah menjadi damai dan sejahtera. Hingga sekarang cinta yang berpadu itu menjadikan budaya Internasional yang sarat makna cinta sejati.
Bodohkah Ayyub untuk tidak meminta kepada kekasihnya? Ayyub diasingkan oleh kaumnya karena penyakit yang dideritanya. Tak jarang istrinya mendesak beliau untuk meminta kesembuhan dari sang Khalik, tapi beliau tidak melakukannya. Maka ketika cinta semu itu sampai pada batasnya, sang istri merobek-robek suratan cinta yang ada.
Namun, tidak bagi Ayyub. Beliau menyirati robekan suratan cinta tadi. Beliau menyadari betul bahwa dengan penyakitnya, beliau bisa berdua-dua dengan kekasihnya. Dengan penyakitnya, beliau bisa terus memikirkan kekasih-Nya. Hingga akhirnya beliau meminta kesembuhan karena beliau khawatir penyakit yang hampir menjalar ke lidahnya membuat beliau tak bisa lagi memuji kekasihnya. Itulah cinta sejati Ayyub.
Dua sosok pencinta sejati tadi benar-benar mengajarkan kita tentang apa itu cinta. Bahwa cinta itu harus dimulai dari sumbernya. Di alam semesta ini hanya satu sumber cinta yaitu Allah SWT. Untuk mendapatkan cinta sejati maka mulailah mencintai Allah. Kita hanya dapat mencintai Allah kalau kita mengenal Allah. Binalah cinta dengan mengenal Allah.
Ketika kita telah paham mencintai Allah maka kita akan mudah melihat benang transparan siratan cinta sejati. Mata kita akan memandang usaha dalam setiap cobaan. Bibir kita akan mengampunkan diri dalam ujian. Hati kita akan terbuka lebar dalam setiap kegalauan. Semua raga kita akan menikmati siratan cinta itu dalam segala situasi.
Di ujung siratan itu maka dengan mudah kita akan menulis surat cinta. Surat cinta yang bebas dari omong kosong. Surat cinta yang tidak sekedar menjanjikan. Surat cinta yang memang benar-benar mengemas cinta sejati dalam rangkaian indah lisan dan kata.
Maka ketika surat cinta kita telah rapi tertulis, siratannya sejati, dan sumbernya jelas maka sampaikanlah surat itu pada orang yang yang kita cinta. Ayah kita, Ibu kita, dan saudara-saudara kita. Binalah cinta kita dengan cinta dari Allah SWT

by:
Amrizal Zuhdy S.
15 Mei 2011
08.55 wib

0 Response to "Surat dan Sirat Cinta"

Posting Komentar

Silahkan berkomentar