~ 8 Maret 1970, Moro memulai perjuangan bersenjata ~
Philipina adalah
negara kepulauan dengan jumlah penduduk sekitar 47 juta jiwa, dengan
menggunakan 87 dialek bahasa yang berbeda-beda yang mencerminkan banyaknya suku
dan komunitas etnis. Orang-orang Islam di Philipina menamakan dirinya “Moro”.
Namun nama ini sebenarnya bersifat politis, karena dalam kenyataannya Moro
terdiri dari banyak kelompok etno linguistik, umpamanya Maranow, Maquindanau,
Tausuq, Somal, Yakan, Ira Nun, Jamampun, Badjao, Kalibugan, Kalagan, dan
Sangil.
Peta Philipina |
Jumlah masyarakat Moro sekitar 4,5 juta jiwa atau 9 % dari seluruh
penduduk Philipina. Bila direntang ke belakang, perjuangan bangsa Moro dapat
dibagi menjadi 2 fase, yaitu: pertama, berjihad melawan penguasa Spanyol selama
377 tahun (1521-1898). Kedua, Moro melawan pemerintah Philipina (1970-sekarang).
Kedatangan orang-orang Spanyol di Philipina atau menundukkan halus dengan
hadiah-hadiah orarng-orang Spanyol dapat memperluas kedaulatannya ke seluruh
perkampungan Philipina. Akan tetapi Spanyol mendapatkan perlawanan sengit
ketika menghadapi kesultanan Islam di wilayah selatan, yakni Sulu, Maquindanau
dan Buayan. Rentetan peperangan yang panjang antara Spanyol dan Islam hasilnya
tidak nampak, yang nampak adalah bertambahnya ketegangan antara orang KRISTEN
dan orang Islam Philipina.
Amerika menguasai
Philipina setelah mengalahkan Spanyol. Hubungan dengan masyarakat Muslim
Philipina lebih baik. Ini merupakan efek dari kebijakan resmi Amerika untuk
membiarkan kehidupan keagamaan orang Islam dan kebiasaan ritualnya. Namun
demikian, Islam dibenci dan dicurigai. Untuk itu, kontak-kontak dengan
saudaranya yang terdekat di pulau Kalimantan dan pulau-pulau lainnya di
Indonesia dibatasi. Ketika sebagian besar rakyat Philipina memilih dibawah
protektorat Amerika, masyarakat Muslim Philipina (dipelopori seratus tokoh
agama dari Manarao) pada bulan Maret 1935 menulis surat kepada Presiden
Roosevelf yang intinya persetujuannya terhadap pemerintahan protektorat khusus
untuk masyarakat Muslim yang terpisah dengan Philipina, tapi permintaan ini
dikabulkan Amerika.
Ketika Manuel Quezon (presiden Persemakmuran) menyatakan bahwa
undang-undang nasional akan ditetapkan secara sama terhadap orang-orang Islam
dan Kristen, mendapat reaksi keras dari kelompok Islam, karena secara mencolok
mengabaikan sistem-sistem sosial dan hukum tradisional Islam, undang-undang
nasional itu lebih banyak mengambil dari etika Kristen dan sejarah sosial
Barat. Sebagian pemimpin Islam berkeyakinan bahwa peraturan pemerintah yang
baru itu merupakan rencana jahat yang disengaja untuk mematikan Islam di
Philipina (Majul, 1989:8-20). Setelah kemerdekaannya Philipina tanggal 4
Juli 1946, Masyarakat Moro tetap melanjutkan perjuangannya bagi
kemerdekaan Moro. Pemerintahan Philipina yang baru tetap melanjutkan kebijakan
masa kolonial yakni melakukan tindakan-tindakan reprersif kepada
gerakan separatis Moro.
Pemindahan masyarakat katolik Philipina ke wilayah Mindanao -yang
mayoritas beragama Islam- terus dilakukan. Menjelang tahun 1960, tingginya para
pemukim baru yang berasal dari Philipina Utara dan Tengah membuat Moro menjadi
Minoritas di wilayah tinggalnya sendiri. Pemerintahan Philipina, seperti halnya
pemerintah kolonial Amerika, juga mengeluarkan sejumlah undang-undang yang
mensyahkan pengambilan tanah yang secara turun-temurun dimiliki penduduk Muslim
Moro guna pembangunan proyek perkebunan dan pemukiman.
Kondisi perekonomian
yang semakin menurun dikalangan penduduk Muslim Moro ditambah lagi derngan
kasus pembunuhan di Jabaidah telah memicu lahirnya gerakan Mindanao Merdeka MIM
(Mindanai Independence Movement) di
tahun 1968. Pada 8 Maret
1968, Front Pembebasan Islam Moro memulai perjuangan bersenjata mereka melawan
rezim Marcos yang berkuasa di Filipina saat itu, tapi gerakan ini dapat diatasi oleh pemerintah Philipina dengan memberi
posisi yang strategis kepada tokoh-tokoh MIM. Hal ini menimbulkan kekecewaan
pada kader-kader muda dibawah pimpinan Nur Misuari. Kader muda itu membentuk
Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF-Moro
National Liberation Front), sebuah organisasi yang dikenal sangan militan.
MNLF |
Tujuan dari organisasi ini adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh dari
tanah Moro. MNLF ini mandapat simpati dari negara-negara Islam dibawah sehingga
memaksa presiden Marcos menyetujui perjanjian Tripoli pada tanggal 23 Desember
1976. Perjanjian ini memberikan peluang pembentukan wilayah Mindanao sebagai
suatu wilayah otonom yang meliputi 3 propinsi dan 9 kota. Marcos bersikeras
bahwa untuk menentukan daerah otonomi itu perlu diadakan referendum. Hal ini
ditolak MNLF, akibatnya berlanjut lagi diakhir tahun 1977, yang pada akhirnya
membuat pemimpin MNLF, Nur Misrua melarikan diri ke Timur Tengah. Gagalnya
perjanjian Tripoli ini memunculkan organisasi sempalan yang tidak puas terhadap
sepak terjang Nur Misuari , Bibawa Nashim Salamat, berdirilah Front Pembebasan
Islam Moro (Moro Islam Liberation Front-MILF). Ketika menjadi presiden di tahun
1986, Aquino mengeluarkan undang-undang baru yang mendeklarasikan berdirinya
wilayah otonom bagi Muslim Mindanao tapi MNLF pecah untuk bersatu dan
memperbaharui perjuangan bersenjata demi berdririnya Republik Bangsa Moro yang
berdaulat.
Pengangkatan Fidel Ramos sebagai Presiden Philipina di tahun 1992,
memberi harapan baru bagi Nur Misuari. Presiden mermbuka negoisasi dengan MNLF
tahun 1996. Persetujuan yang ditandatangani dengan MNLF menyatakan bahwa MNLF
menjadi badan pengawas atas semua proyek pembangunan ekonomi diseluruh propinsi
Mindanao untuk 3 tahun dan Nur Misuari sebagai Gubernur di wilayah itu.
Ternyata perjanjian itu terbukti berhasil mengurangi perlawanan bersenjata di
Mindanao. Pemecahan yang paling jitu atas problem bangsa Moro adalah
kemerdekaan penuh lepas dari Philipina dan berdirinya nergara Islam Moro.
Menurut Majul, ada 3 alasan yang menjadi Moro berintegrasi secara penuh
kepada pemerintah Republik Philipina. Pertama, Bangsa Moro sulit menghargai
undang-undang nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi dan keluarga,
karena jelas undang-undang itu berasal dari Barat dan Katolik. Kedua, sistem
sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Philipina di
semua daerah tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro
malas untuk belajar di sekolah. Ketiga, Bangsa Moro masih trauma dan kebencian
yang mendalam terhadap program pemindahan penduduk yang dilakukan oleh
pemerintah Philipina ke wilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah
merubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hampir di segala bidang
kehidupan.
0 Response to "Front Pembebasan Islam Moro"
Posting Komentar
Silahkan berkomentar