Nubuwwah
dari Rasulullah SAW., yang memberitakan akan berakhirnya masa kepemimpinan para
diktaktor yang kejam dan bengis dan menjadi awal kemunculan sistem Khilafah
Islamiyyah yang mengikuti metode kenabian mulai terlihat tanda-tandanya.
"Dari Nu'man bin Basyir dari Hudzaifah bin
Yaman radliallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
"Masa
kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah.
Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa
Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (KHILAFAH 'ALAA MINHAJIN NUBUWWAH),
adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk
mengangkatnya. Kemudian masa Kerajaan yang Diwariskan (MULKAN ADLON), adanya atas
kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya.
Kemudian masa Pemerintahan Diktaktor yang bengis (MULKAN JABARIYYAH), adanya
atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk
mengangkatnya. Kemudian masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian (KHILAFAH
'ALAA MINHAJIN NUBUWWAH)". Kemudian beliau (Nabi) diam." (H.R. Ahmad
dan Al Baihaqi. Misykatul Mashabih: Bab Al Indzar wa Tahdzir, Al Maktabah Ar
Rahimiah, Delhi, India. Halaman 461. Musnad Ahmad, juz 4, halaman 273)
why is not one state |
Syekh Hasan Umar hafizhahullah dalam artikelnya yang berjudul “Ruha al-Islam Dairah” (Roda Islam terus berputar) menjelaskan fase-fase dari Nubuwwah Rasulullah SAW., secara panjang lebar dan terperinci.
“Nabi SAW.,
memberitahukan, pada saat itu masa kenabian, bahwa masa kenabian beliau akan
berlangsung di tengah umatnya ini sampai masa beliau wafat. Setelah itu datang
masa khilafah rasyidah yang akan bertahan di tengah umat ini selama masa waktu
tertentu. Kemudian Allah SWT., akan mengangkat masa tersebut.
Hal itu ternyata
benar-benar terjadi. Kemudian muncul masa raja ‘adhun, yaitu kerajaan yang
diwariskan. Masa tersebut terjadi sejak era Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA, saat
ia mengambil baiat untuk anaknya Yazid bin Mu’awiyah padahal saat itu Mu’awiyah
masih hidup. Kerajaan yang diwariskan menjadi milik Bani Umayyah, lalu menjadi
milik daulah Abbasiyah sampai selesai, kemudian daulah Mamluk, dan daulah
Utsmaniyah. Daulah Utsmaniyah kemudian berakhir di tangan seorang sekuleris
militeris, Musthafa Kamal Attaturk. Negara-negara Eropa berperan besar dalam
menjatuhkan daulah Utsmaniyah, sehingga khilafah Utsmaniyah runtuh pada bulan
Maret 1924 M.
Era kerajaan yang
diwariskan (monarchi) telah berakhir, digantikan oleh pemerintahan militer atas
negeri-negeri Islam pada abad 20 M. Bahkan, meski pihak militer yang tidak naik
ke kursi kekuasaan, namun sisa-sisa kerajaan yang diwariskan seperti Arab
Saudi, Yordania, dan Maroko mempergunakan bantuan kekuatan militer yang besar,
dengan peralatan dan persenjataan modern untuk memberangus pihak oposisi dan
siapa pun yang membenci penguasa tersebut. Pemerintahan tersebut secara realita
adalah pemerintahan diktator, meski secara nama masih berupa kerajaan yang
diwariskan.
Kekuasaan sepenuhnya
digenggam oleh pemerintahan-pemerintahan diktator tersebut dengan banyak
metode. Metode yang paling penting adalah: - aparat keamanan yang kuat yang
menjaganya, memberangus para oposisi, mempergunakan media massa dan para
jurnalis untuk ‘mencetak’ (membentuk) akal pemikiran rakyat sesuai kehendak
para penguasa, suatu cara yang bisa disebut ‘operasi pencucian otak’. Mereka
memenuhi otak rakyat dengan pemikiran-pemikiran yang mendukung para penguasa
atau melalaikan rakyat dari dien Allah dan problematika-problematika umat yang
paling menentukan nasib mereka, yaitu media massa memberikan porsi yang sangat
besar untuk aspek seni, olahraga, lagu-lagu (musik), lawakan, dan seterusnya.
Para tokoh agama yang
berubah menjadi para pegawai pemerintahan. Ketika melihat kemungkaran, mereka
memegang prinsip: ‘Saya tidak melihat, tidak mendengar, dan tidak mengatakan’.
Mereka berperan seperti para pendeta yang menganggap suci para penguasa, bukan
berperan sebagai tokoh iman yang mengingkari kemungkaran penguasa dan
meluruskan kekeliruannya, bukan pula berperan sebagai pemimpin umat yang
mengembalikan hak-hak umat yang hilang.
Diantara metode
terpenting para penguasa diktator tersebut adalah mengikuti kemauan Barat di
bidang politik dan militer, dengan mencampakkan persoalan Palestina dari
realita perjuangan, karena mereka semua sibuk menjalin perdamaian dengan
Israel.
Maka kekuatan militer
Amerika dipersilahkan bercokol di Kuwait, Teluk, dan Arab Saudi. Sikap politik
negara-negara kawasan Teluk berada di bawah payung politik Amerika. Amerika
bahkan melakukan intervensi sangat dalam, sampai taraf menentukan para penguasa
di beberapa negeri Islam. Para penguasa tersebut meminta bantuan kekuatan
adidaya (salibis Amerika dan Eropa) ini dan mereka menindas rakyat mereka
sendiri. Maka mereka layak menyandang nama ‘Pemerintahan Diktator’.
Kini nasib para
pemerintahan diktator ini mulai sempoyongan dan hendak roboh, dengan dimulainya
revolusi rakyat di Tunisia, lalu di Mesir, lalu demonstrasi-demonstrasi dan
bentrokan-bentrokan terjadi di Yaman, Libya, dan lain-lain. Semuanya terjadi
secara berentetan, dengan kecepatan yang mengagumkan. Semuanya memiliki
kemiripan dan beraksi secara cepat.
Kita tidak melihat ada penafsiran atas berbagai
kejadian ini yang lebih jujur dari penafsiran Nabi SAW, yang telah memberitahukan
kepada kita bahwa pemerintahan diktator akan menguasai umat ini selama masa
yang Allah kehendaki. Allah kemudian akan mengangkatnya jika Allah telah
menghendakinya.”
sumber:
arrahmah.com
0 Response to "Gelombang Tsunami Revolusi Menghantam Kekuasaan Para Diktaktor (III)"
Posting Komentar
Silahkan berkomentar