Cerpen : Sebuah Makna Kesuksesan

Oleh: Amrizal Zuhdy S. (teruntuk bagi orang yang ingin sukses) Hari ini panas sekali! Keluhku menurunkan semangatku untuk turun ke sawah dan sedikit sentuhan tangan ajaibku. Aku – Adi, bekas pengusaha jempolan – berniat akan mengolah sawah untuk yang pertama kalinya. Aku pun kembali merebahkan badanku di lantai dangau sawah menunggu sejenak dengan harapan panasnya sedikit berkurang. Tersentak aku dari tidur singkatku dan kulihat ternyata panasnya matahari tidak kunjung berkurang malah menantang kulit mulusku yang biasa termanjakan oleh hawa dingin air conditioner. Sengatan matahari mulai membuat amarahku naik. Pikiranku mulai menerawang menyesali kehidupanku. “Mengapa aku kembali ke kampungku ini? Mengapa aku sampai begini? Apa salah dan dosaku? Bagaimana aku akan sukses kalau kehidupanku seperti ini terus?” Aku sedikit mulai mempertanyakan keadilan hidup. Dalam pertanyaanku tersebut aku coba menghibur diri mengenang kesuksesanku dulu. Sepuluh tahun dari sekarang, aku adalah perusahaan swasta terbesar yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak bumi di provinsi ini. “Kita harus mulai membuka daerah baru! Besok, stok baru yang diminta pemerintah harus tercukupi!” Kalimat-kalimat perintah yang seperti inilah yang sering terlontar menghiasi kehidupan bawahanku selama sepuluh tahun terakhir. Tapi apa aku sekarang? Dulu aku sangat semangat membagun perusahaan warisan ayahku ini. Keuntungan besar yang pernah diraih ayahku bisa aku gandakan hanya dalam waktu dua tahun sejak aku menjadi penguasa di perusahaan ini. Semangatku juga membawa perusahaan ini mulai mencium lapangan bisnis baru di provinsi tetangga. Aku dan perusahaanku juga giat melakukan kegiatan-kegiatan sosial dan sering bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi masalah energi lokal dan nasional. Mau tidak mau, orang-orang penting akan dekat denganku. Kedermawananku terkenal di masyarakat provinsi itu. Kehadiranku sangat diharapkan oleh banyak orang yang mengadakan suatu acara. Namun, itu mulai sirna semenjak tiga tahun belakangan. Entah kenapa kemunduran itu terjadi kepadaku? Apakah aku memang tidak pandai dalam berbisnis atau jiwa kesuksesan itu mulai hilang dalam diriku. Karena apapun itu, itu dapat melemparkan aku ke jalanan dan menghapus diriku dalam memori masyarakat provinsi ini. Lalu disinilah aku, mencoba menghindari kata pengangguran dengan sebuah cangkul yang tidak tajam untuk berusaha... ”Di, ayo turun! Mau diajari ngolah tanah ga?” Suara itu membuyarkan pikiranku. Itu Amin, teman kecilku. Dia adalah orang yang paling bijaksana yang menjadi temanku. Dia tetap di kampung ini karena dia putus sekolah saat ingin melanjut ke SLTP. Alasannya klasik, tidak ada biaya. Aku masih tidak menjawab sehingga Amin datang menemuiku di dangau sawah yang suasanya sedikit lebih sejuk. Dia duduk disamping ku. ”Ada apa, Di?”, dia bertanya. ”Apa aku salah menjadi petani? Batinku menolak untuk bekerja seperti ini! Kapan aku akan sukses lagi kalau setiap hari aku memegang cangkul?”, aku balas bertanya. Amin terkejut mendengar pertanyaanku. Dia menjawab: ”Kalau masalah sukses kamu sudah pengalaman, jangan tanya samaku! Itu sudah ada dalam darahmu dan ayahmu! Kalau masalah salah jalan, aku mau berpendapat! Dari pengajian yang sering aku ikuti bahwa tidak ada salah jalan selagi masih pada jalan yang benar! Kamu berusaha dalam mengelola sawah berarti kamu benar dan kamu tidak salah!” Melihat raut wajahku yang masih kusut, dia menimpali: ”Aku melihat, kamu belum bisa menerima kegagalanmu! Kamu menganggap bahwa kesuksesan itu sudah kamu raih dan kamu tidak mau jauh dari itu! Begini saja, cobalah kamu merenung! Pikirkan apa yang dulu membuatmu sukses! Setelah itu pikirkan apa yang akan kau lakukan ke depannya! Kamu hanya tidak terima kehidupanmu sekarang!” Aku membatalkan niatku untuk mengolah sawah hari ini dan pergi membawa cangkul tuaku kembali pulang. Dalam perjalanan pulang aku terus memikirkan saran dari Amin. Dalam hati aku juga membenarkan bahwa mengapa aku tidak memberikan kesempatan berpikir untuk menerima kegagalanku dan mencoba sesuatu yang lain dan tidak membanding-bandingkannya dengan pekerjaanku dahulu. Aku terus memikirkannya sampai di rumah. Malam hari di rumah, rebahan setelah pulang dari shalat Isya di mushala Al-Muttaqin, mushala kebanggaan kampung ini, aku melanjutkan pemikiranku yang tadi siang. Aku teringat pesan almarhum ayahku. Ayahku berpesan: ”Raihlah kesuksesan. Kesuksesan tidak pernah dapat diraih bila tidak totalitas dalam bekerja dan sifat optimis.” Aku terus memikirkan pesan almarhum ayahku itu hingga muncul titik terang. Aku teringat kembali kisah para sahabat nabi yang pernah diceritakan Kakek Haji, ustad tersohor di kampung ini. Begini ceritanya. Bilal adalah sahabat nabi. Dia seorang budak berkulit hitam. Hidupnya serba cukup diisi dengan bertani dan membantu orang lain. Ada juga Mushab bin Umair. Sahabat nabi yang meninggalkan kehidupan glamornya dan memilih hidup sederhana. Namun, ada suatu yang istimewa dari mereka bahwa sesederhananya perjuangan mereka, tetapi nama, perjuangan, dan kehidupan mereka dapat sampai ceritanya menjadi bahan pembelajaran anak-anak di sekolah islami pada zaman sekarang. Terlebih lagi Bilal karena ketakwaannya membuat Baginda rasul mendengar bunyi terompahnya di surga. Mereka berdua dapat disejajarkan kemuliaannya dengan Abu Bakr, Umar, Usman, dan Ali yang notabene adalah orang-orang terpandang dan kaya. Aku langsung terbangun. Bagiku itu adalah sebuah keberhasilan. Seorang raja wajar namanya masuk dalam sejarah, tapi tidak bagi seorang petani dan kehidupannya yang sederhana. Aku mulai sadar, aku salah mengartikan maksud perkataan almarhum ayahku. Dari hal ini aku mulai tarik kesimpulan bahwa kesuksesan itu tidak tergantung pada latar belakang kita atau menurut rendah tingginya status pekerjaan kita. Akan tetapi, Kesuksesan itu adalah pemberian totalitas kita kepada amanah dan pekerjaan kita. Hal ini akan aku simpan baik-baik. Aku kepalkan tanganku lalu aku tidur. Tiga tahun kemudian aku duduk di dangau sawah ku. Amin berkata: ”Kamu memang punya bekat sukses ya, salut aku!” Aku menimpali: ”Terima kasih, Min! Kau temanku yang selalu menasehatiku dalam masa-masa sulitku dulu. ”Tidak usah terima kasih ke aku! Kampung ini yang memberikan langkah awal kesuksesanmu! Kampung ini yang memaksa kamu supaya mindsetmu berubah dan semangatmu tetap menyala! Bantu saja kampung ini! Kan, duit seorang menteri pertanian banyak!”, dia bergumam. ”Ha ha ha ha ha!”, kami larut dalam tawa.

0 Response to "Cerpen : Sebuah Makna Kesuksesan"

Posting Komentar

Silahkan berkomentar