Salam dari pemimpin: Hai Negeriku, maafkan daku! Koar mulut manisku tak mampu melawan hangatnya kursi panas ini. Aku yakin, engkau akan seperti ku jika panggul mu telah bersandar di kursi ini.
Salam dari alim ‘ulama: Hai Negeriku, maafkan daku! Teriakanku tak lagi memasuki sinus-sinus telinga. Aku sudah terlalu tua untuk anak-anak mu. Derasnya arus globalisasi tak mampu teredam oleh punggung renta ini untuk anak-anak mu.
Salam dari para cendekia: Hai Negeriku, maafkan kami! ‘Ilmu ini banyak mencederai diri mu dan anak-anak mu. ‘Ilmu ini menebalkan garis pemisah, melukis indah keegoan, dan mengisi keranjang-keranjang ketamakan. Bukan melebarkan senyum, menyambung ikatan, dan jauh dari keberkahan.
Salam dari para ibu: Hai Negeriku, maafkan kami! Generasi mu tak lagi secemerlang dahulu karena kesucian itu mulai tergeser. Belaian kasih sayang berganti menjadi belaian materi ataupun belaian penguat semangat mempertahankan kehidupan. Anak-anak mu juga banyak lahir tanpa diharapkan.
Salam dari hutan: Hai Negeriku, maafkan kami! Kami tidak mampu menjaga anak-anak Mu. Apalah arti rangkaian tangan kami yang sedikit ini melawan derasnya air dan perihnya panas. Jumlah kami tak mampu lagi melukis air mengalir, kicauan burung, dan harumnya dedaunan yang mengeluarkan kekaguman dari hati anak-anak Mu.
Salam dari gunung: Hai Negeriku, maafkan daku! Daku tak mampu lagi membendung kemarahan lahar-laharku. Lahar-laharku semakin panas membara dibakar api kesombongan dan kedurhakaan anak-anak mu. Mereka mendesakku di seluruh penjuru tubuhku.
Salam dari tanah: Hai Negeriku, maafkan daku! Tiang-tiang penyeimbang itu terluput dari penjagaanku. Beberapa tiang telah jatuh dan patah menyebabkan guncangan-guncangan. Beberapa tiang akan menyusul jatuh jika anak-anak mu berdiri tidak pada posisinya.
Salam dari burung: Hai Negeriku, maafkan daku! Kicauanku tak lagi merdu menyelimuti damainya kehidupan anak-anak mu. Suara serak karena polusi ulah anak-anak mu. Suaraku juga kalah bersaing dari nyanyian anak-anakmu yang tak bermakna.
Salam dari penulis: Hai Negeriku, maafkan aku! Aku tak mampu mengubah diriku. Lalu bagaimana mana pula aku mengadakan perbaikan pada mu dan anak-anak mu. Hinakan saja diriku karena jarang sekali diri ini merasa hina. Lebih sering sombong yang berkutat di hati ini yang berjalan mengikuti kemaksiatan. Tampar saja diri ini biar tersadar akan tujuan hidupnya yang telah lama terkubur di bawah tipu daya kebohongan.
(Amrizal Zuhdy S, 2009)
0 Response to "Salam-Salam untuk Negeri"
Posting Komentar
Silahkan berkomentar