Ketika tangan ini berjabat dan dada ini lalu ditariknya untuk bersentuhan dengan dadanya maka pipi ini tak mampu menolak linangan air matanya. Ia berkata: “Dimana lagi akan abang temui adik-adik seperti antum?” Seketika itu pula leher ini sesak menjalar ke pipi dan mata dipenuhi darah yang berdesakan hingga akhirnya tetesan-tetesan itu mulai tertumpah.
Aku semakin mengerti keadaan sebenarnya. Abang yang memelukku dengan cinta itu telah menyelesaikan studi preklinik dan kliniknya. Dia adalah seorang dokter muslim yang hidupnya diafiliasikannya insya Allah untuk Islam. Itu berarti masa-masa aktif di almamaternya telah berakhir. Itu berarti pula masa-masa penjagaan yang tak kusangka telah diberikannya telah berakhir.
Diskusi yang terjadi semalam sebelum itu terjawab sudah. Inti dari diskusi kami adalah bahwa dia ingin ada seorang pengganti yang meneruskan perjuangannya. Ia ingin aku mencoba berada di posisinya. Ia ingin aku menjaga teman-temanku, abang-abangku, dan adik-adikku dalam perjalanan ini. Perjalanan ini amat panjang sehingga pasti ada dinamika manusia yang naik turun. Hal itu wajar-wajar saja asalkan jangan pernah keluar dari suatu koridor. Ia ingin aku menjaga orang-orang tersebut tetap berada pada koridornya.
Aku semakin takut bahwa aku tidak bisa menjalankan apa yang diamanahkannya padaku. Sungguh berat rasanya melaksanakan hal ini. Walaupun dia mengatakan: “Antum ini lebih baik dari abang. Abang mendapatkan amanah ini ketika abang berada di lingkungan klinik. Sementara antum sudah mendapatkannya sekarang berarti antum memiliki suatu nilai lebih. Apapun yang dikatakannya, aku merasa tetap tidak pantas. Bagaimana mungkin seorang yang hanya biasa-biasa saja dalam kehidupannya di berikan amanah ini.
Dia berkata: “Antum harus menjaga diri antum. Jangan sampai bermasalah karena bagaimana bisa antum memegang amanah ini ketika antum bermasalah.” Semakin terhimpit rasanya ketika dalam pelukan itu dia mengatakan bahwa dia akan meninggalkan aku.
Seorang yang masih muda ini akan dibiarkan sendirian. Aku masih butuh suatu penjagaan dan aku masih belum bisa rasanya memegang amanah itu. Dia mengatakan bahwa aku harus senantiasa memposisikan diriku berguna untuk saudara-saudaraku, walaupun dia tidak langsung merasakannya. Harus bisa memposisikan diriku sebagai tempat orang mengutarakan keluh kesahnya dan mencoba mencari permasalahannya. Hidupmu harus senantiasa berkeliaran dalam hidup saudaramu.
Dia juga berkata bahwa jangan pernah antum merasa futur dan sesekali menanyakan untuk apa antum memberikan perhatian lebih kepada orang lain sementara antum tidak diperhatikan. Pikiran tersebut hendaknya dibuang jauh-jauh karena abang melihat antum punya suatu nilai lebih. Biarlah apa yang antum kerjakan tersebut menjadi suatu persembahan kepada Allah SWT. Biarlah apa yang antum lakukan itu sebagai penjaga jalannya dakwah ini dan tidak perlu orang tahu karena ini adalah jalan bawah tanah menuju surga. Kuatkanlah diri antum!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Secuplik Waktu Kehidupan"
Posting Komentar
Silahkan berkomentar