Separuh Bintang di Langit, Tak Ada yang Lain
Oleh: Saudaramu, Amrizal Zuhdy S. di Indonesia
3 Rajab 1421 H
Semilir angin dingin di malam hari menusuk tulang. Membekukan Gaza dengan segala keheningannya. Gerimis mengusir asap kesedihan yang bergumul. Tumpah ke bumi mengencerkan darah yang tercecer dimana-mana. Sunyi-senyap menghiasi segala kegalauan yang ada. Sesekali rintihan perih keluar dari bibir menggambarkan secuil suasana hati yang telah terkoyak-koyak.
Di antara puing-puing bangunan itu kulihat seorang akhi. Wajahnya berdebu dan lusuh memandangi ke segala arah. Bajunya kumal dan sekujur tubuhnya berdebu. Lama dia menatap puing bangunan tempat ia duduk sampai air mata bening menetes dari kedua matanya.
“Tidak, aku tak boleh menangis.” Dia bergumam dengan suara yang gemetaran. Rahangnya berusaha terus dia katupkan. Air mata semakin berjatuhan langsung dia hapus, tapi tak kunjung berhenti.
Ingin sekali rasanya aku datang ke hadapannya. Berusaha menghiburnya, menyela air matanya, dan menepuk pundaknya.Berharap dia dapat melimpahkan segala penderitaan dan sakit hatinya kepada ku. Namun sayang, aku hanya separuh bintang di langit, tak ada lagi yang lain.
1 Rajab 1421 H
Lantunan ayat suci Al-Quran dari mulut Ali menghiasi seisi rumah. Senandung dzikir dari mulut akhiku terus terucap menemani malam yang bahagia itu. Umi terus menyimak bacaan Ali kalau-kalau ada kesalahan dari hafalannya. Sesekali Hasan, si bungsu bergeliat manja di gendongan umi.
Abi yang biasa menyimak hafalan Ali telah syahid setahun yang lalu. Ali pun telah bertekad mengikuti jejak ayahnya. Selesai melantunkan ayat suci, Ali mencium tangan ibunya dan memeluknya. Akhiku pun berdiri dan memeluk adik dan uminya itu. Walaupun dalam rumah yang tidak utuh lagi tapi hidup mereka bahagia. Aku hanya separuh bintang di langit, tak ada yang lain pun iri melihatnya.
Menjelang tengah malam terdengar keriuhan. Suara teriakan bak erangan anjing-anjing yang kelaparan terdengar dimana-mana.
“Maju!”
“Bakar dan bunuh semua!”
“Jangan sisakan satu pun. Ini pesta kita.”
Sesaat kemudian pun bunyi senapan pun meletup dimana-mana. Ali terkejut langsung melihat keadaan luar rumah melalui lubang-lubang rumah. Serdadu Israel sedang menggila. Seluruh rumah mereka dobrak dan penghuninya mereka bantai. Tak pandang umur, baik tua maupun muda. Tak melihat jender, baik laki-laki ataupun perempuan.
Tibalah seorang tentara menuju rumahnya. Ali langsung berlari menuju pintu dan menahannya. Akhiku pun segera membantu adiknya karena dobrakan tentara itu begitu keras. Tak kunjung terbuka, sang tentara mundur dan mengambil basoka. Diarahkannya ke pintu itu lalu boom. Mereka berdua terlempar.
Ali terpelanting dan kepalanya pecah. Akhiku jatuh ke balik timbunan pasir di bagian dapur rumahnya. Dia pingsan sejenak. Sang serdadu Israel masuk dan memberondong isi rumah dengan M-16 Carbine nya. Peluru-peluru itu menghantam Hasan dan umi. Peluru-peluru itu mengantarkan mereka ke surga. Bahkan Ali yang telah terbaring tak bernyawa terkena puluhan peluru yang membabi-buta.
Sang serdadu lalu menarik pemicu granatnya. Diletakkannya granat itu di mulut Ali dan bergegas pergi keluar. Seketika itu pula boom, asap dan debu terbang menyesakkan seisi rumah. Pesta biadab malam itu pun ditutup dengan bom posfor yang dimuntahkan oleh pesawat siluman MQ-9B Predator B buatan Amerika.
Dia terbangun dari pingsannya saat para serdadu hendak membakar seluruh rumah. Dengan cepat diambilnya batu yang ada didekatnya dan dipukulkan ke kepala serdadu yang mengantarkannya ke neraka. Dengan cepat senapan serdadu itu diraihnya dan dari belakang diberondongnya kedua belas serdadu lain. Peluru-peluru itu menghujani mereka yang sedang merayakan kemenangan menjijikkan.
Dia pun terduduk lesu memandangi kehancuran di sekitarnya. Bagian muka dan dan dadanya masih ia rasakan perih akibat hantaman basoka tadi. Sekuat tenaga ia bangkit kembali. Ia angkat mayat-mayat saudaranya untuk dikuburkan semampunya. Ia lucuti senjata para serdadu Israel lalu kembali ke puing reruntuhan rumahnya.
Aku hanya separuh bintang di langit, tak ada yang lain heran. Lama ia duduk di sana , dan nampaknya akan tetap bertahan di sana .
“Oh akhiku, kenapa engkau tidak lari? Inilah saat yang tepat.”
“Sebentar lagi mungkin akan tiba pasukan lain ke tempatmu.”
“Cepatlah! Aku mengkhawatirkanmu.”
Sedikit pun ia tidak bergeming. Ia telah bertekad akan menanti musuh-musuh Allah yang datang kembali.
“Akhi, pergilah engkau ke pengungsian!”
“Lawanmu saat ini bukanlah manusia. Mereka tak punya nurani!”
“Siapa yang akan membelamu?”
“Mereka yang berteriak HAM di bumi ini tak akan pernah bergetar karena hak mu dilanggar.”
“Akhi, pergilah engkau!”
4 Rajab 1421 H
Setelah tiga hari menanti musuh Allah yang tak kian muncul akhirnya dia memutuskan untuk pergi ke pengungsian. Hati ku sedikit lega karena di pengungsian dia akan lebih aman. Disimpannya senjatanya lalu bergegas pergi.
Di pengungsian tepi barat ia menyaksikan mereka yang kelaparan. Mereka yang butuh obat-obatan. Erangan dan rintihan perih adalah hal yang biasa didapatinya di sana . Sesekali datang tentara Yahudi yang tak jarang merendahkan derajat para pengungsi. Berbuat sesuka hati kepada para pengungsi.
Tak jarang juga dia berang. Dia selalu bangkit untuk membela dan ingin membalas perlakuan Tentara Yahudi. Tapi, setiap kali dia bergerak puluhan polisi Palestina memukulnya jatuh.
“Biarkan aku membela saudaraku!”, teriaknya sekuat tenaga.
Aku hanya separuh bintang di langit, tak ada yang lain hanya menyaksikan dari atas. Aku tak mengerti kenapa membela saudaranya sendiri tidak boleh.
“Dimana keadilan?”
“Dimana pemimpin mu yang telah menjanjikan perdamaian menjalin kerjasama dengan Yahudi itu?”
Aku semakin tak mengerti. Aku hanya separuh bintang di langit, tak ada yang lain.
7 Rajab 1421 H
Akhiku kembali ke kampungnya. Ia duduk didepan tumpukan senjata yang disimpannya. Sambil terus melantunkan asma Allah di susun rapi bom-bom itu badannya. Ia sangkutkan granat-granat itu di pinggangnya. Ia selipkan belati di pahanya.
Aku hanya separuh bintang di langit subuh. Setelah usai shalat subuh ia bergerak ke pos tentara Israel . Ia bersembunyi di balik batu yang ukurannya agak besar di depan pos itu. Dengan kalimat takbir ia berondong pos itu sekuat tenaga. Ratusan peluru ia muntahkan ditambah tujuh buah granat. Lima tentara Israel tertembus timah panas itu dan yang lainnya merunduk. Ia menikmati setiap detik perjuangannya.
Perjuangannya ini membuat tentara Israel kewalahan. Mereka hanya berlindung di balik pillbox yang mereka bangun. Lama dia membuat ketakutan di hati-hati Yahudi itu hingga tak terasa amunisi telah habis. Granat pun demikian.
Ia tarik belatinya langsung berlari ke pos itu. Dengan cepat belati itu menghujam leher seorang tentara Israel . Darah pun menyembur ke tubuhnya. Namun, seketika itu pula hantaman gagang senjata mengenai kepalanya dari samping. Ia terjatuh.
Aku mulai sedikit mengerti. Aku sadar bahwa datangnya dia ke pengungsian bukanlah untuk menyerah melainkan untuk menemui saudara-saudaranya dan memberikan ukhuwah terakhirnya di dunia. Aku juga sadar bahwa dia tak mau menggantungkan nasibnya pada pemimpinnya yang telah memilih jalan perdamaian dalam penindasan. Apalagi menggantungkannya pada Yahudi laknatullah. Namun, dia gantungkan hidup dan perjuangannya untuk Allah SWT, Rabb nya.
Aku terdiam. Aku hanya separuh bintang di langit Gaza yang kelam muram, tak ada yang lain. Kisahku di dunia ini dengan akhiku di Rajab ini telah berakhir. Akankah kami bisa bertemu di jannah nanti?
Terinspirasi dari kisah Rembulan Separuh di Langit Palestina
0 Response to "Separuh Bintang di Langit, Tak Ada yang Lain"
Posting Komentar
Silahkan berkomentar