Empati untuk Ukhuwah karena Ukhuwah itu Indah

      Bagaimana perasaanmu bila melihat ada seseorang yang jatuh dari sepedanya Begitu malang nasibnya ia pun tersungkur masuk ke dalam parit yang mampet. Seperti kebanyakan parit yang mampet maka baunya pun gak ketulungan (baunya baru hilang kalau mandi kembang tujuh rupa dalam tujuh hari tujuh malam). Cerita sepedanya belum selesai. Sepedanya berputar-putar di udara bak sirkus keliling yang lagi main ayunan dan mendarat tepat mengenai bagian punggung.
     Hadirin sekalian! Begitu kuatnya, dia masih mampu berdiri, tak kalah hanya dalam tiga ronde. Para penonton pun sontak tertawa bahkan ada yang bersyukur dengan kalimat syukurin. Ibarat lawakan di televisi yang bersifat lawakan fisik mungkin kamu juga hampir pasti tertawa. Eits, kalau seandainya itu ada di kejadian nyata yang kamu lihat dengan mata kepala sendiri sebaiknya kamu harus pikir-pikir dulu. Kalaulah kamu ikut tertawa mungkin itu pertanda kamu belum memiliki empati terhadap orang tersebut. Indonesia pun cuek-cuek bebek sama mu, lho kok?
     Kalau begitu apa sih sebenarnya empati itu? Kok ga boleh ngetawain orang yang pantas diketawai menurut sebagian besar orang itu pantas (ketawa itu menyehatkan). David Goleman dalam bukunya “Kecerdasan Emosional” berpendapat bahwa empati itu adalah kemampuan memahami dan turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Seberapa pentingkah ia? Ya, sangat penting lah.
     Coba bayangin kalau temen kamu lagi curhat kepada mu tentang masalahnya, eh kamu malah cuek-cuek aja bahkan lebih parah kamu ketawa terbahak-bahak. Pasti kamu disangkain orang gila baru. Lumayan kalau disangka gila, kalau misalnya dikasih jap kanan, chop, dan smaaaaack down maka kamu bakalan langsung KO dironde pertama.
     Fren, sudah fitrahnya manusia ingin berteman sebagai makhluk sosial. Apalagi kalau kamu cocok banget dalam artian empatinya terjalin erat bakalan susah dipisahin kamu sama sahabat mu itu (sudah kayak saudara gitu). Seperti kata peribahasa “ Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Pasti susah banget nyari teman kalau kamu plesetin peribahasa itu jadi “Ringan yok kita dijinjing, berat elu yang pikul sendirian apalagi dikejar-kejar anjing, gw nonton aja”. Belum abis ngos-ngosan kamu dikasih tambo IDL (itu derita lu). Wah..wah..wah..gawat banget kalau kamu kayak gitu. Intinya seberapa pintar kita menjalin empati maka itu menentukan kualitas seorang teman.
     Sangat penting loh empati itu. Empati itu merupakan perwujudan kasih sayang antara sesama manusia. Bayangin aja kalau empati ga pernah ada di dunia ini. Hidup bakalan dipenuhi intrik, fitnah, individualisme, krisis kepercayaan, dll. Ujung-ujungnya akan terjadi perang yang tak berkesudahan di bumi ini.
     Nah, sekarang hubungan empati dengan cueknya Indonesia apa? Mungkin saja bagian dari perilaku-perilaku pemimpin masa kini akibat dari mereka yang tidak pernah tersentuh dengan empati, baik memberikan atau menerima empati. Maka, hal yang wajar saja ketika pemimpin tidak memperdulikan nasib rakyat kecil. Rakyat yang lantara mereka ada maka itu pemimpin ada. Boro-boro ikut merasakan apa yang dialami orang kecil, derajat kesejahteraannya aja turun dikit takutnya bukan main. So, mereka berlomba-lomba mencari keuntungan pribadi dan terus mengamankan posisinya. Wallahu’alam.
     Fren, empati itu juga bukan semata diukur berdasarkan standar manusia. Artinya kita dikatakan telah melakukan empati bila kita dinilai baik dengan ukuran manusia tapi juga Allah SWT memandangnya juga baik. Kenapa? Karena sebenarnya empati yang sejati itu lahir dari hati.
     Empati itu bukan hanya sekedar basa-basi dalam kehidupan. Bukan hanya sebatas bumbu dalam suatu ikatan. Seseorang bisa berempati dengan baik kalau hatinya bersih. Hatinya peka terhadap keadaan orang lain. Allah SWT akan menilai atau memberikan pahala dan ganjaran sesuai dengan batasan ketulusan hati kita berempati terhadap orang lain.
    So, tidak ada salahnya kamu tersentuh atau bahkan menangis melihat siaran televisi yang menampilkan anak-anak Irak yang kurus kering atau anak-anak Palestina yang menangis kehilangan keluarganya di tengah-tengah gundukan mayat. Itu karena hati kamu memang masih peka.
     Kalau kamu ngarepin, para serdadu Amerika dan sekutunya untuk nangis sama seperti kamu atau paling tidak tertegun melihat keadaan anak-anak tadi maka kamu ibarat punguk yang merindukan bulan. Kenapa? Hati ini kan ibarat starter untuk menghidupkan mesin empati. Kalau hatinya mati atau starter-nya rusak maka mesinnya ga bakalan hidup. Gitu fren!
     Kalau orang-orang di Barat sana kayak Daniel Goleman mempelajari empati baru abad ini, kaum muslimin sudah mengetahuinya hampir empat belas abad yang lalu. Pernah dengarkan hadist: “hak muslim atas muslim itu ada; menjawab salam, mendoakan kepada orang yang bersin, menyahut undangan, menziarahi orang sakit, dan mengiringi jenazah.”
     Nah, sekarang mari kita bertanya pada diri kita sendiri. Kapan terakhir kali kita menengok teman kita yang sakit? Pernakah kita memasukkan teman kita dalam daftar doa kita? Dan kapan terakhir kali kita menasehati teman kita? Itu semua hak mereka lho.
     Kadang dan bahkan sering kita memiliki beribu alasan untuk melakukan segala kebaikan ini. “Maaf, saya sedang sibuk.” “Harap maklum.” “Ah, baru gitu aja!” Padahal penting sekali loh keberadaan kita saat orang lain melalui ujian-ujiannya. Sebegitu pentingnya hingga dengan perkataan “sabar ya!” atau hanya sebatas tepukan tangan kita ke bahunya yang mungkin di waktu-waktu yang lain tak berarti, sangat begitu berarti baginya di kala itu. Orang yang sedang menjalani ujian itu sangat rapuh bahkan akalnya mungkin bisa buntu.
Sebenarnya tidak sulit berempati. Apalagi kita sekarang hidup di zaman digital. Ada sms, mms, chatting, dan email yang senantiasa siap membantu. Semakin lengkap deh kalau kamu kasih rentetan emoticons yang mewakili perasaan kamu. 
     Rasulullah yang menjadi idola kita juga berempati kok. Ini bukti bahwa beliau lebih dulu tentang empati. Kalau beliau mengimami shalat, beliau akan memperhatikan keadaan makmumnya. Beliau memperpendek bacaan tatkala mendengar rengekan tangisan anak kecil atau jika beliau tahu ada orang tua di dalam shafnya. Beliau juga pernah menegur Mua’dz bin Jabal r.a. yang dikeluhkan banyak orang lantaran sering membaca surat-surat yang panjang di tiap shalat berjama’ah. Banyak lagi contoh-contoh empati beliau kepada ummatnya yang bisa kita temukan di sirrah-nya.
     Beliau juga gemar memuliakan orang lain. Ketika ada sahabat yang terlambat mengikuti majlis beliau maka beliau perintahkan sahabat yang lain untuk meluangkan tempatnya untuknya dan tidak sungkan-sungkan membuka sorban beliau untuk dijadikan alas tempat duduk sahabat yang datang terlambat tadi. Wajar saja beliau mulia karena sering memuliakan orang lain.
      So, mulai dari sekarang mulailah membersihkan hati kita. Mulailah lebih banyak mendengarkan orang lain. Jauh lebih banyak mendengar akan lebih memahami perjalanan hidup seseorang. Semakin kita tahu seseorang maka kita semakin mudah meletakkan empati kita sebagai mana mestinya.
      Jangan bosan-bosan untuk memberikan care dan atensi kita terhadap orang lain, baik itu kita kenal atau bisa juga kepada orang yang belum kita kenal, karena persaudaraan yang baik itu dimulai oleh kebaikan. Kunjungi temanmu yang sedang sakit, berikan bantuan kepada saudaramu yang membutuhkan; kalau tidak sempat gunakan teknologi yang sudah canggih saat ini.
      Hitung-hitung yang kamu lakukan tadi bisa sebagai latihan buat mu karena pasti kamu membutuhkannya saat menjadi pemimpin nantinya. Setiap orang adalah pemimpin. Salah satu kriteria pemimpin idaman adalah mereka yang peduli dengan terhadap keadaan orang lain. Ujung-ujungnya tercipta deh ukhuwah yang kita idam-idamkan. Ukhuwah seperti ukhuwahnya kaum Muhajirin dan Anshar.
Wallahu ‘alam.
[Amrizal 210810]

0 Response to "Empati untuk Ukhuwah karena Ukhuwah itu Indah"

Posting Komentar

Silahkan berkomentar