Kaum Muslimin Pernah Punya Kebanggaan (Kapankah Itu Kembali?) part 1

Saat sang khalifah ‘Umar ibn Khaththab duduk berdiskusi dengan para sahabatnya membahas berbagai persoalan, tiba-tiba datanglah dua orang pemuda kakak-beradik sedang mengapit seorang pemuda belia menuju ke arah sang khalifah.
“Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah atas pembunuh ayah kami ini!”, ujar salah satu dari dua bersaudara itu.
‘Umar segera bangkit.
“Takutlah kalian kepada Allah! Perkara apakah ini?”, balas sang ‘Umar.
Kedua pemuda bersaudara itu menjelaskan bahwa pemuda belia itu adalah pembunuh ayah mereka.
“Benarkah yang mereka dakwakan kepadamu ini?”, ‘Umar mengonfirmasi kebenarannya.
“Benar, wahai Amirul Mukminin”, jawabnya.
“Engkau tidak menyangkal dan di wajahmu kulihat ada sesal!”, ujar ‘Umar menyelidiki dengan teliti. “Ceritakanlah kejadiannya!”
Pemuda belia itu pun memulai ceritanya.
“Aku datang dari negeri yang jauh. Begitu sampai di kota ini kutambatkan kudaku di sebuah pohon dekat kebun milik keluarga mereka. Kutinggalkan ia sejenak untuk mengurus suatu hajat tanpa aku tahu ternyata kudaku mulai memakan sebagian tanaman yang ada di kebun mereka.”
Terus ia melanjutkan.
“Saat aku kembali, kulihat seorang lelaki tua yang kemudian aku tahu adalah ayah kedua pemuda ini sedang memukul kepala kudaku dengan batu hingga hewan malang itu tewas mengenaskan. Melihat kejadian itu, aku dibakar amarah dan kuhunus pedang. Aku khilaf, aku telah membunuh lelaki tua itu. Aku memohon ampun kepada Allah karenanya.”
‘Umar melihat dalam ke pemuda tertuduh itu. Usianya masih sangat muda dan emosinya labil sehingga wajar saja mudah dibakar amarah. Namun, dibalik itu jelas terlihat wajahnya teduh. Akhlaknya santun. Kejujuran pengakuannya terlihat dari gurat-gurat sesal yang dibentuk wajahnya. Melihat hal itu, ‘Umar merasa iba dan berpikir sangat sia-sia sekali seorang pemuda seperti ini terlalu cepat mati. Maka beliau menawarkan diyat darinya kepada dua pemuda kakak-beradik tadi untuk menebus pemuda belia itu dan memaafkannya.
Kedua pemuda itu saling pandang.
“Demi Allah hai Amirul Mukminin, sungguh kami sangat mencintai ayah kami. Dia telah membesarkan kami dengan penuh cinta. Keberadaannya di tengah kami takkan terbayar dan terganti dengan diyat sebesar apapun. Lagipula kami bukanlah orang miskin yang menghajatkan harta. Hati kami baru tentram jika had ditegakkan!”, tegas mereka.
‘Umar terhenyak.
“Bagaimana menurutmu?” tanyanya ke pemuda terdakwa tadi.
Dengan penuh tanggung jawab pemuda tadi menjawab,
“Aku ridha hukum Allah ditegakkan atasku. Namun, ada yang menghalangiku untuk sementara ini. Ada amanah dari kaumku atas beberapa benda maupun perkara yang harus aku sampaikan kembali kepada mereka. Demikian juga keluargaku. Aku bekerja menafkahi mereka. Hasil jerih payah di perjalanan terakhirku ini harus aku serahkan pada mereka sembari berpamitan memohon ridha dan keampunan ayah ibuku.”
“Jadi bagaimana?”, tanya ‘Umar.
“Jika engkau mengizinkanku, wahai Amirul Mukminin, aku minta waktu tiga hari untuk kembali ke daerah asalku guna menunaikan segala amanah itu. Demi Allah, aku pasti kembali di hari ketiga untuk menetapi hukumanku. Saat itu tegakkanlah had untukku tanpa ragu, wahai putra Al-Khaththab.”, pintanya.
“Adakah orang yang bisa menjaminmu?”
“Aku tak memiliki seorang pun yang kukenal di kota ini hingga dia bisa kuminta menjadi penjaminku. Aku tak memiliki seorang pun penjamin kecuali Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
“Tidak! Demi Allah, tetap harus ada seseorang yang menjaminmu atau aku tak bisa menginzinkanmu pergi.”
“Aku bersumpah dengan nama Allah yang amat keras ‘adzabnya. Aku takkan menyalahi janjiku.”
“Aku percaya. Tapi, tetap harus ada manusia yang menjaminmu!”
“Aku tak punya!”
“Wahai Amirul Mukminin! Jadikan aku sebagai penjamin anak muda ini dan biarkanlah dia menunaikan amanahnya!”, seorang sahabat yang dari tadi mendengarkan jalannya tawar-menawar menyela dengan wibawanya. Ya, dial ah Salman Al-Farisi.
“Engkau hai Salman, bersedia menjamin anak muda ini?”, tanya ‘Umar sambil heran.
“Benar. Aku bersedia!”, yakinnya.
“Apakah kalian bersedia menerima penjaminan dari Salman Al-Farisi atas orang yang telah membunuh ayah kalian?Adapun Salman demi Allah, aku bersaksi tentang dirinya bahwa dia lelaki ksatria yang jujur dan tak sudi berkhianat.” tanya sang khalifah kepada kedua pemuda tadi.
“Kami menerima!” kata mereka serempak.
Kisah berlanjut. Waktu tiga hari yang disediakan untuk sang terpidana nyaris habis. ‘Umar tampak begitu gelisah sedang Salman duduk khusyu’ dan begitu tenang di dekatnya. Tak tampak gelagat seseorang yang nyawanya sedang berada di ujung tanduk.
Waktu terus bergulir. Pemuda belia itu masih juga belum muncul. Suasana Madinah berangsur-angsur  menjadi kelabu. Para sahabat berkumpul mendatangi ‘Umar dan Salman. Mereka tidak rela kehilangan sesosok Salman yang harus dibunuh sebagai badal. Mereka sangat menghormati dan mencintai Salman.
Satu demi satu mereka menawarkan untuk menggantikan posisi Salman. Dimulai dari sahabat terdekatnya, Abud Darda’ hingga sahabat-sahabat lain. Namun, Salman menolaknya. Kekhawatiran semakin meninggi seiring lengsernya matahari ke barat.
Didetik-detik terakhir hari itu, terlihat di kejauhan seseorang datang dengan berlari tertatih-tatih. Ya benar, dialah pemuda terpidana itu.
“Maafkan aku, urusan dengan kaumku itu ternyata berbelit dan rumit sementara untaku tak sempat beristirahat. Ia kelelahan nyaris sekarat dan terpaksa kutinggalkan di tengah jalan. Aku harus berlari-lari hingga sampai ke sinii hingga nyaris terlambat.”, ceritanya. Semua di sana yang menyaksikan itu bertambah rasa ibanya terhadap pemuda itu.
“Pemuda yang jujur, mengapa Engkau datang kembali padahal bagimu ada kesempatan untuk lari dan tak harus mati menanggung qishash?” tanya ‘Umar.
“Sungguh jangan sampai orang mengatakan tak ada lagi orang yang tepat janji. Dan jangan sampai ada yang mengatakan, tak ada lagi kejujuran hati di kalangan kaum Muslimin.”, ujarnya.
“Dan kau Salman, untuk apa Engkau susah-susah menjadikan dirimu penanggung kesalahan dari orang yang tak kau kenal sama sekali? Bagaimana bisa Engkau mempercayainya?” tanya ‘Umar sambil bergetar bibirnya.
“Sungguh jangan sampai orang berbicara bahwa tak ada lagi orang yang mau membagi beban dengan saudaranya. Atau jangan sampai ada yang merasa, tak ada lagi rasa saling percaya di antara orang-orang Muslim.”, jawab Salman dengan teguh.
“Allahu Akbar! Segala puji bagi Allah. Kalian telah membesarkan ummat ini dengan kemuliaan sikap dan agungnya iman kalian.” seru ‘Umar bersyukur dan bangga.
“Tapi, bagaimanapun wahai pemuda, had untukmu harus kami tegakkan!”
Pemuda itu menerimanya dengan pasrah.
“Kami memutuskan untuk memaafkannya!” tiba-tiba kakak-beradik itu menyela dengan tersedu sedan.
“Kami melihatnya sebagai seorang yang berbudi dan tepat janji. Demi Allah, pasti benar-benar sebuah kekhilafan yang tak disengaja jika dia sampai membunuh ayah kami. Dia telah menyesal dan beristighfar kepada Allah atas dosanya. Kami memaafkannya. Janganlah menghukumnya, wahai Amirul Mukminin.”, pinta mereka.
“Alhamdulillah! Alhamdulillah!” ujar ‘Umar. Pemuda itu pun bersujud syukur. Salman tak ketinggalan bersujud mengagungkan asma Allah.
“Mengapa kalian tiba-tiba berubah pikiran?” tanya ‘Umar kepada kedua ahli waris korban itu.
“Agar jangan sampai ada yang mengatakan bahwa di kalangan kaum Muslimin tak ada lagi kemaafan, pengampunan, iba hati, dan kasih sayang.”
ceritanya Mas Salim A. Fillah di Dalam Dekapan Ukhuwahnya

2 Responses to "Kaum Muslimin Pernah Punya Kebanggaan (Kapankah Itu Kembali?) part 1"

  1. assalamu'alaikum akhi
    luar bias tulisanya
    dah selesai bacanya ya
    jangan lupa bedah bukunya hari kamis malam

    BalasHapus
  2. wa'alaikumussalam...wr...wb...
    sip2
    Ok2

    BalasHapus

Silahkan berkomentar