Kaum Muslimin Pernah Punya Kebanggaan (Kapankah Itu Kembali?) part 2

(...sambungan...)
Begitu kita punya cerita. Begitu kita punya kebanggaan. Dahulu para pendahulu agama ini bersusah payah membuat suatu pola pikir bahwa kaum Muslimin adalah kumpulan orang-orang yang memiliki kejujuran hati. Kaum Muslimin adalah kaum yang saling berbagi beban dan tolong-menolong. Diantara Kaum Muslimin semerbak rasa saling percaya, saling memaafkan, dan kasih sayang.
            Namun, apakah seperti itu kaum Muslimin yang ada sekarang? Bukankah yang terpola di masyarakat orang yang tidak jujur dan suka memakan harta saudara sendiri itu adalah muslim? Bukankah mereka yang egois dan individualisme adalah seorang Muslim? Bukankah yang telah hilang kelembutan hatinya sehingga tidak bisa berkasih sayang adalah Muslim?
            Ya, karena di negeri kita ini kebanyakan adalah Muslim. Kita mayoritas Muslim. Dan kita bertanggung jawab jika masyarakat negeri ini menganggap bahwa Muslim tidak memiliki suatu hal yang dapat dibanggakan lagi. Muslim tidak memiliki nilai lebih. Muslim tak lebih dari komunitas biasa yang menganut suatu kepercayaan.
            Ada apa ini? Apa yang tejadi?
            Kita patut bertanya mengapa kita (baca: muslim) tidak spesial saat ini. Sehingga setelah kita telusuri lebih mendalam bahwa sebenarnya letak kesalah tersebut bukan pada konsep, sistem, atau landasannya, tetapi terletak pada pribadi manusia masing-masing.
            Islam tidak sama dengan Muslim. Islam itu adalah pedoman Muslim dan Muslim adalah yang mempedomani Islam…
            Islam adalah suatu konsep agama yang sempurna dan telah diridhoi oleh sang pemimpin di alam semesta ini.
pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
(Al Maidah: 3)
Islam ini juga dicontohkan oleh manusia pilihan. Seorang manusia yang ideal dan teladan sepanjang zaman.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
(Al Ahzab: 21)
Menggunakan kurikulum teruji dan diajarkan oleh mentor teladan maka pasti melahirkan manusia-manusia yang luar biasa. Sebut saja Khadijah, ‘Ali ibn Abi Thalib, Abu Bakar, Zaid ibn Haritsah, Ummu Aiman, Hamzah ibn Abdul Muthalib, Abbas ibn Abu Muthalib, Abdullah ibn Abdul Asad, Ubay ibn Kaab, Abdullah ibn Rawahah, Abdullah ibn Mas’ud, Mus’ab ibn Umair, Mu’adz ibn Jabal, ‘Aisyah, ‘Umar ibn Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan, Zubair ibn Awwam, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqosh, Thalhah ibn Ubaidillah, Abdullah ibn Zubair, Miqdad ibn Aswad, Bilal ibn Rabah, ‘Utsman ibn Mazh’un, Said ibn Zayd ibn Amru, Abu Ubaidah ibn Al-Jarrah, Waroqah ibn Naufal, Abu Dzar Al-Ghiffari, ‘Umar ibn Al-Anbasah, Sa’id bin Al-Ash, Abu Salamah ibn Abdul Asad,  Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam, Yasir ibn Amir, Ammar ibn Yasir, Ja’far ibn Abi Thalib, Sumayyah binti Khayyat, Shafiyyah, Asma’, Fatimah bin Khaththab.
            Ya…begitu banyak mereka. Dan mereka seluruhnya tetap konsisten dengan kurukiulumnya dan mengikuti teladan mentornya. Dan mereka itulah Muslim.
            Ada lagi contoh yang lain. Hasan dan Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, Urwah ibn Zubair, ‘Ali ibn Husain Zainal Abidin, Muhammad ibn al-Hanafiyyah,  al-Qosim ibn Muhammad ibn Abi Bakar ash-Shiddiq,  al-Hasan al-Bashri, ’Umar ibn Abdil Aziz, at-Turmudzi, an-Nasa’I, dll. Mereka juga adalah orang-orang yang konsistensi dengan kurikulum hidupnya dan tetap memegang teladan mentornya melalui penyampaian-penyampaian dari guru-gurunya (As-Sunnah).
            Mereka semua itu telah mengharumkan Islam. Mereka juga yang meninggikan derajat Muslim. Oleh karena mereka selalu berpegang teguh terhadap peninggalan mentornya.
            Kemudian kembali kepada kita. Apakah memang layak kita ini disebut Muslim. Kalau memang layak mengapa negeri tercinta ini masih juga berhawa ketidakadilan? Bukankah Muslim mayoritas di negeri ini. Kita yang memimpin dan kita juga yang dipimpin, tetapi kenapa masih belum nyata keadilan?
            Maka kita perlu mengintrospeksi diri kita masing-masing. Letak kesalahan itu mutlak ada pada kita sebenarnya. Mungkin kita yang mengaku Muslim sudah terlalu jauh dengan Al-Quran. Kita jarang membacanya. Kita jarang memahaminya. Maka bagaimanapun kita akan jarang mengamalkannya.
            Tentang meneladani Rasulullah, kita mungkin hanya tahu waktu lahir beliau, nama ayah dan ibu beliau, saudara sepersusuannya dan lain-lain yang sifatnya mendasar. Atau jangan-jangan kita tidak tahu akan hal itu. Jadi, bagaimana mungkin Muslim itu memiliki nilai lebih jika tidak mengetahui sifat-sifat beliau, keutamaan beliau, sejarah perjuangan beliau, dll.
            Yah…sebenarnya kitalah letak kesalahan itu…
            Lalu kapankah Muslim ini kembali dihargai? Kapankah Muslim tidak menjadi olok-olok? Kapan? Kapan? Wallahu’alam…
            Sesungguhnya memang pasti nama Muslim akan kembali harum. Itu sebuah kepastian. Kepastian dari Allah… Karena pasti ada seseorang yang tergerak hatinya untuk berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dan dialah yang akan membanggakan dan mengharumkan nama Muslim dan Islam ini kembali.

            Insya Allah,  Allahu akbar…
            Wallahu’alam bisshowab…

0 Response to "Kaum Muslimin Pernah Punya Kebanggaan (Kapankah Itu Kembali?) part 2"

Posting Komentar

Silahkan berkomentar