HUDZAIFAH IBNUL YAMAN (bagian II)

Pada suatu ketika, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang amat berbahaya, dan membutuhkan keterampilan luar biasa untuk mengatasinya. Karena itulah beliau memilih orang yang cerdas, tanggap dan berdisiplin itnggi. Peristiwa itu terjadi pada puncak peperangan Khandaq. Kaum muslimin telah lama dikepung rapat oleh musuh, sehingga mereka merasakan ujian yang berat, menahan penderitaan yang hampir tak tertanggungkan, serta kesulitan-kesulitan yang tak teratasi. Semakin hari situasi semakin gawat, sehingga menggoyahkan hati yang lemah. Bahkan menjadikan sementara kaum muslimin berprasangka yang tidak wajar terhadap Allah SWT.

Namun begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan menetukan itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang musyrik, tidak lebih baik keadaannya dari pada yang dialami kaum muslimin. Karena murka-Nya, maka Allah Azza wa Jalla menimpakan bencana kepada mereka dan melemahkan kekuatannya. Allah meniupkan angin topan yang amat dahsyat, sehingga menerbangkan kemah-kemah mereka, membalikkan periuk, kauli dan belanga, memadamkan api, menyiram muka mereka dengan pasir dan menutup mata dan hidung mereka dengan tanah.

Pada situasi genting dalam sejarah setiap peperangan, pihak yang kalah ialah yang lebih dahulu mengeluh dan pihak yang menang ialah yang dapat bertahan menguasai diri melebihi lawannya. Maka dalam detik-detik seperti itu, amat diperlukan informasi secepatnya mengenai kondisi musuh, untuk menetapkan penilaian dan landasan dalam mengambil keputusan melalui musyawarah.

Ketika itulah Rasulullah membutuhkan keterampilan Hudzaifah ibnul Yaman, untuk mendapatkan info-info yang tepat dan pasti. Maka beliau memutuskan untuk mengirim Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan malam yang hitam pekat.

Kata Hudzaifah: Malam itu kami (tentara muslimin) duduk berbaris, Abu Sufyan dengan dua baris pasukannya kaum musyrikin. Makkah mengepung kami sebelah atas. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah berada di sebelah bawah.

Yang kami khawatirkan ialah serangan mereka terhadap para wanita dan anak-anak kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami alami gelap malam yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak jari kami sendiri. Angin bertiup sangat kencang sehingga desirannya menimbulkan suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan orang-orang munafik minta izin untuk pulang kepada Rasulullah dengan alasan rumah mereka tidak terkunci. Padahal sebenarnya rumah mereka terkunci.

Setiap orang yang minta izin pulang, diberi izin oleh Rasulullah, tidak ada yang dilarang atau ditahan beliau. Semuanya keluar dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan, hanya tinggal 300 orang. Rasulullah berdiri dan berjalan memeriksa kami satu per satu. Setelah beliau sampai ke dekatku, aku meringkuk kedinginan. Tidak ada yang melindungi tubuhku dari udara dingin yang menusukku, selain sehelai sarung butut kepunyaan istriku, yang hanya dapat menutupi hingga lutut. Beliau mendekatiku yang sedang menggigil, seraya bertanya, “Siapa ini?” “Hudzaifah.” Jawabku. “Hudzaifah!” Tanya Rasulullah minta kepastian. Aku merapat ke tanah sulit berdiri karena lapar dan dingin. “Betul, ya Rasulullah!” jawabku. “Ada beberapa peristiwa yang dialami musuh; pergilah engkau ke sana dengan sembunyisembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti, dan laporkan kepadaku segera!” kata beliau memerintah.

Aku bangun dengan ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk. Maka Rasulullah berdoa, “Wahai Allah, lindungilah dia, dari depan, dari belakang, kanan, kiri, atas, dan dari bawah.” Demi Allah! Sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang menghantui dalam dadaku, dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa. Tatkala aku memalingkan diriku dari Rasulullah, beliau memanggilku dan berkata, “Hai, Hudzaifah! Sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali melapor kepadaku!” Jawabku, “Saya siap, ya Rasulullah!” Lalu aku pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam.

Aku berhasil menysuup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah aku anggota pasukan mereka. Belum lama aku berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu Sufyan memberi komando. Katanya, “hai pasukan Quraisy! Dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir, hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad. Karena itu telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian masing-masing!” Mendengar ucapan Abu Sufyan itu, aku segera memegang tangan yang di sampingku seraya bertanya, “Siapa kamu?”
Jawabnya, “Aku si anu, anak si anu!” Sesudah dirasanya aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai pasukan Quraisy! Demi Tuhan! Sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhan berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu berangkatlah kalian sekarang dan tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat.” Selesai berkata begitu, Abu Sufyan langsung mendekati untanya, dilepaskannya tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku.

Aku kembali ke pos komando menemui Rasulullah. Kudapati beliau sedang shalat di tikar kulit, milik salah seorang istrinya. Tatkala beliau melihatku, didekatkannya kakinya kepadaku dan diulurkannya ujung tikar menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu kulaporkan kepada beliau segala kejadian yang kulihat dan kudengar. Beliau sangat senang dan bersuka hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT.

Hudzaifah ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang munafik selama hidupnya. Sehingga kepada para khalifah sekalipun, yang mencoba mengorek rahasia tersebut tidak pernah bocor olehnya. Sampai-sampai khalifah Umar bin Khattab r.a. apabila ada orang muslim yang meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah orang itu?” Jika mereka jawab ada, beliau turut menyalatkannya. Bila mereka menjawab tidak, beliau enggan menyalatkannya.

Pada suatu ketika khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik, “Adakah diantara pegawai-pegawaiku orang munafik?”
Jawab Hudzaifah, “Ada seorang!” Kata Umar, “Tolong tunjukkan kepadaku, siapa?” Jawab Hudzaifah, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.” “Seandainya aku tunjukkan, tentu khalifah akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah bercerita.

Namun begitu, amat sedikit orang yang mengetahui Hudzaifah ibnul Yaman sesungguhnya adalah pahlawan penakluk Hamadzan dan Rai. Dia membebaskan kota-kota tersebut bagi kaum muslimin dari genggaman kekuatan Persia yang menuhankan berhala. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragaman mushaf Al-Qur’an, sesudah Kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum muslimin. Dan Hudzaifah, hamba Allah yang sangat takut kepada Allah, dia juga takut melanggar perintah dan larangan Allah, dan sangat takut akan sika-Nya.
Ketika Hudzaifah sakit keras menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat dating mengunjunginya tengah malam. Hudzaifah bertanya kepada mereka, “Jam berapa sekarang?” Jawab mereka, “Sudah dekat Subuh.” Kata Hudzaifah, “Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.” Kemudian dia bertanya, “Adakah tuan-tuan membawa kafan?” Jawab mereka, “Ada!” Kata Hudzaifah, “Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan jika tidak baik dalam pandangan Allah Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuhku.”

Sesudah itu dia berdoa, “Wahai Allah. Sesungguhnya Engkau tahu, bahwa aku lebih suka fakir dari pada kaya, aku lebih suka sederhana dari pada mewah, dan aku lebih suka mati dari pada hidup.” Sesudah berdoa begitu ruhnya berangkat. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman.


[sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]

0 Response to "HUDZAIFAH IBNUL YAMAN (bagian II)"

Posting Komentar

Silahkan berkomentar