kalau cinta berawal dan
berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya
upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah
hati yang paling hakiki:
selamanya memberi yang
bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan
orang-orang yang kita cintai.
-M. Anis Matta-
Mencintai Sejantan 'Ali |
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu
bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang
semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi
mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah
rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari
mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling
akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam
dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya
tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”,
begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan
kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan
RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan
Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti
maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana
Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah
yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf,
Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan
kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim
yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga
Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi
finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan
Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan
cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan
kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia
mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu,
ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya
belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang
laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya
membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang
membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn
Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga
datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam
belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar
pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan
Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali
mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr
dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr
dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki
pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan
orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah
binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Mencintai tak
berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang
yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil
kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika
kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang
dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi
Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar
Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu
sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn
’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang
mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak
yakin.
”Ya. Engkau wahai
saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin.
Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu,
kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang
Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi
Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada
dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar
untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati
wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab
atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab,
”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia
pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa
dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang
tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi
kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
Menurut kalian apakah
’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”,
kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau
mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan
Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi
Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin
disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu
hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan
Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan
nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab
memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para
pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan
tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti
’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah
pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada
yang manis dalam mencecap keduanya.
Di jalan cinta para
pejuang, kita belajar untuk bertanggungjawab atas setiap perasaan kita..
Sumber : http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2008/07/mencintai-sejantan-ali/
Sumber : http://salim-a-fillah.blog.friendster.com/2008/07/mencintai-sejantan-ali/
Afwan, maksud pertanyaannya seperti apa?
BalasHapusKalau tulisan ini bermaksud bahwa cinta 'Ali yang berawal dan berakhir karena Allah.