Sikap Muslimin Menghadapi Musibah dari Allah SWT

Musibah  silih berganti menimpa  anak negeri. Lumpur lapindo, badai, banjir bandang, hingga gempa bumi yang akhir-akhir belakangan ini mulai rutin menghiasi setiap potret perjalanan bangsa ini. Belum lagi selesai permasalahan musibah yang satu, bangsa ini kembali harus menyita pikirannya untuk memikirkan musibah yang lain.
Berbagai pernyataan  usai musibah sering muncul. Statemen yang berbunyi bahwa musibah ini karena siapa, salah siapa, dan pantasnya untuk siapa? Semua saling membela diri dan melemparkan kesalahan kepada orang lain. Tidak ada yang sadar akan kesalahan masing-masing individu. Naudzu billahi min dzalik.
Selayaknya sebagai seorang hamba Allah yang tidak punya kuasa akan musibah mulailah berbenah diri. Mulai dari musibah yang besar sampai kepada musibah yang menimpa diri sendiri. Mulai dari diri sendiri. Jangan selalu berkutat menyalahkan orang lain. Bahkan sampai menyalahkan hal-hal yang tidak ada sama sekali hubungannya dengan kita. Segalanya telah terjadi . Seharusnya penyesalan yang tumbuh di setiap individu. Dan sebaik-baik penyesalan adalah penyesalan yang diiringi oleh perbaikan.
Hal yang pantas dilakukan oleh seorang yang beriman adalah mengucapkan kalimat istirjaa sebagaimana firman Allah: (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"(Al-baqarah:156).  Maksud dari ayat ini adalah pernyataan kita kembali kepada Allah. Tidak satu bagian pun dari tubuh kita ini milik Allah. Lebih-lebih satu sel dari tubuh kita. Apalagi keluarga, harta, dan tahta kita.
Pelajaran dari musibah yang dihadapkan kepada negeri kita ini seharusnya melahirkan prang-orang yang iklas. Orang-orang yang rela diambil apa-apa saja yang telah diberikan kepadanya sebagai pinjaman. Orang-orang yang tidak merasa memiliki segala apapun dalam hidupnya, kecuali karena Allah SWT. Apapun kehilangannya, baik itu dari suatu hal yang kecil (musibah kecil) ataupun besar yang sampai merenggut nyawa dan harta.
Kemudian dalam menghadapi musibah janganlah jauhkan diri ini dari Allah. Setelah menyadari ketidakmampuan kita maka perdekatlah diri kita kepada Allah SWT. Dirikanlah sgala apa-apa yang diperintahkannya dan jauhilah larangan-Nya, ambilah pahala dari musibah yang melanda kita serta jangan pernah putus meminta kepadanya. “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan,(Al Fatihah:5).
Dalam riwayat dikisahkan  seorang sahabat Rasulullah, Abu Salamah memiliki istri Ummu Salamah. Abu salamah adalah orang yang sangat baik dan santun terutama kepada istrinya. Suatu ketika Abu Salamah meninggal dunia yang membuat Ummu Salamah bersedih atasnya. Rasulullah kemudian mengajarkan kepada Ummu Salamah sebuah do’a yang dapat dipergunakan saat mengahadapi musibah. Doa tersebut berbunyi: Ya Allah, berilah aku pahala akan hal ini dan berilah ganti yang lebih baik kepada ku (Indonesian version). Ummu Salamah sempat berfikir bahwa siapakah pengganti Abu Salamah yang lebih baik dari Abu Salamah? Namun, dia tetap saja mengamalkan do’a tersebut. Subhanallah, beberapa bulan setelah peristiwa terebut Rasulullah datang melamar Ummu Salamah. Ternyata Rasulullah lah orang yang lebih baik dari Abu Salamah.
Dari kisah di atas dapat kita ambil hikmah bahwa kedekatan kepada Allah harus senantiasa kita laksanakan dengan cara jangan pernah putus untuk meminta kepada-Nya. Insaya Allah, Allah akan membalasi dan mengganti setiap apa-apa yang hilang dari kita. Kita hanya menunggu dengan keyakinan. Terkadang balasan itu terjadi di dunia ataupun di akhirat. Janganla pernah bosan-bosan meminta. Dan sebaik-baik permintaan adalah permintaan yang diiringi keikhlasan dan keyakinan akan terkabulnya permintaan tersebut.
Kemudian sebagai seorang yang beriman hendaknya menjaga nikmat keimanannya dalam waktu-waktu musibah. Kebanyakan orang-orang yeng terkena musibah rela mengorbankan keimanannya karena tidak tahan menghadapi musibah. Sudah banyak contoh di negeri bencana ini. Dalam kasus-kasus kristenisasi seorang yang berakidah rela menjual akidahnya demi sekotak kardus mie instan di daerah-daerah musibah kelaparan. Dia rela menggadaikan agamanya demi kelaparan menghantuinya. Tuntutan perut mengalahkan keimanan. Padahal waktu-waktu akan datang hanyalah Allah yang tahu.
Kalau dipikir-pikir hal tersebut akan membawanya kepada musibah yang tak berujung yaitu musibah di hari akhirat. Seorang muslim harus menyadari bahwa musibah di dunia ini hanya bersifat sementara layaknya dunia yang bersifat sementara. Jadi jangan kuatirkan sesuatu yang pasti akan ujungnya tapi kuatirkanlah sesuatu yang tidak ada akhirnya.
Paling besar musibah di dunia ini adalah kematian. Seseorang yang mati dengan khusnul khotimah maka dia menghapus musibah tak berujung di hari akhirat. Sementara seseorang yang menutup dunianya dengan menjual akidahnya untuk menghindari musibah dunia maka dia membuka lembaran-lembaran musibah yang tak berujung di hari akhiratnya. Setiap detik kehidupan akhiratnya akan selalu dihantui dengan musibah. Tidak akan ada pertolongan layaknya bantuan yang berkedok kristenisasi di akhirat.
Jadi wahai orang-orang yang beriman janganlah setiap detik musibah yang melanda mu mengikis keimananmu. Justru dengan datangnya musibah kepadamu maka semakin tergarlah imanmu dan semakin bertakwalah kamu. Jagalah selalu nikmat Allah yang sangat berarti tersebut. Ingatlah bahwa pertolongan Allah akan selalu datang menghampiri masa-masa sulit musibahmu. Tapi ingat, tidak akan ada izin Allah untuk pertolonganmu jika engkau tutup hidupmu dengan kelanjutan musibah-musibah akhirat yang tak berujung.
Allah berfirman dalam surat Al baqarah ayat 6 yang artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.
Wallahu’allam bishowab!

0 Response to "Sikap Muslimin Menghadapi Musibah dari Allah SWT"

Posting Komentar

Silahkan berkomentar