Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata,"Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Alloh apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
[Bukhari no. 52, Muslim no. 1599]
Hadits ini
merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata,
“Islam bersumber pada empat (4) hadits.” Dia sebutkan diantaranya adalah hadits
ini. Para ulama telah sepakat atas keagungan dan banyaknya manfaat hadits ini.
Kalimat,
“Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara
keduanya ada perkara yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada
tiga macam hukum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia adalah
halal, seperti firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kamu
hal-hal yang baik dan makanan (sembelihan) ahli kitab halal bagi kamu” dan
firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kamu selain dari
yang tersebut itu” dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas
haramnya, maka dia menjadi haram, seperti firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’
4:23), “Diharamkan bagi kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu
…..” dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kamu memburu
hewan didarat selama kamu ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang
terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah
mengancamnya dengan hukuman tertentuatau siksaan atau ancaman keras, maka perbuatan
itu haram.
Adapun yang
syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya
masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu
termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat
yang diisyaratkan oleh Rasulullah . Pada hadits tersebut, sebagian Ulama
berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu,
berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Barangsiapa
tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus
kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat
bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alasan sabda Rasulullah,
“seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang” kalimat ini
menunjukkan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah
sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata
bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak dapat dikatakan halal atau
haram, karena Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh karena
itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.
Dalam shahih
Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad
bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang
anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak
saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak
laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata;
“ Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur
ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah
anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah
bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik
laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang
berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak
laki-laki ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu
untuk seterusnya.
Rasulullah
telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari perempuan yang
melahirkannya, secara formal anak laki-laki itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin
Zam’ah adalah saudara laki-laki Saudah, istri Rasulullah , karena Saudah putrid
Zam’ah. Ketetapan semacam ini berdasarkan suatu dugaan yang kuat bukan suatu
kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak
laki-laki itu karena adanya syubhat dalam masalah itu. Jadi tindakan ini bersifat
kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, sebab jika
memang pasti dalam pandangan Rasulullah anak laki-laki itu adalah anak Zam’ah,
tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya
yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain.
Pada Hadits
‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan
ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang
melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan
yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja,
sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam
masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan
tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah
hewan itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman,
“Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)
0 Response to "HADITS KE-6 (HALAL DAN HARAM TELAH JELAS) bagian I"
Posting Komentar
Silahkan berkomentar