Ibnu Nafis



Tanggal 24 Oktober 2014 kemarin, bertepatan dengan hari dokter Indonesia. Ada banyak kisah dan prestasi dokter yang dapat menginspirasi, baik tentang keilmuannya maupun semangat hidupnya. Berikut ini saya sharing seorang tokoh kedokteran yang terkenal dengan prestasi dan penemuan-penemuanya.

Pakar kedokteran ini bernama lengkap 'Alauddin Abu Hassan Ali Ibnu Abi Al-Hazm Al- Qurasi, selanjutnya kita sapa dengan Ibnu Nafis. Beliau adalah ahli di bidang fisiologi peredaran darah dan paru-paru. Beliau mempunyai nama panggilan lain, yaitu the Second Avicenna, yang diberikan oleh para pengangumnya.

Ibnu Nafis lahir di kota Damaskus, Syiria pada tahun 1210 M. Beliau besar dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Kota kelahirannya ini saat itu kondusif bagi dinamika intelektualisme. 

ibnu Nafis
www.google.com


Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, beliau menempuh pendidikan kedokteran di Medical College Hospital. Gurunya adalah Muhalthab al-Din Abd al-Rahim. Selain itu, beliau juga mempelajari hukum Islam. Menurut Hussein Haekal dalam bukunya At-Tarikh Al-Islami (Kaira, 1970), ketertarikan ilmuwan Muslim ini semakin besar sejak ia berguru pada beberapa ulama terkenal, khususnya dalam bidang sains dan kedokteran.

Pada tahun 1236, setelah menyelesaikan pendidikannya di bidang kedokteran dan hukum Islam, Ibnu Nafis meninggalkan tanah kelahirannya menuju Kairo, Mesir. Di sana, ia belajar di Rumah Sakit al-Nassiri. Prestasinya yang gemilang membuat ia kemudian ditunjuk sebagai direktur rumah sakit tersebut.

Sebagai seorang dokter, Ibnu Nafis tidak pernah merasa puas dengan ilmu kedokteran yang dimilikinya. Ia terus memperkaya pengetahuannya melalui berbagai observasi. Hal inilah yang membuat namanya terkenal. Ia adalah dokter pertama yang mampu menerangkan secara tepat tentang paru-paru dan memberikan gambaran mengenai saluran pernapasan, juga interaksi antara saluran udara dengan darah dalam tubuh manusia. Ibnu Nafis dikenal sebagai seorang dokter muslim yang mempunyai pendapat dan pemikiran yang masih murni, terbebas dari berbagai pengaruh Barat.

Menurut Ibnu Nafis, selain melakukan pengobatan, memeriksa unsur-unsur penyebab munculnya penyakit juga perlu. Selain itu, ia juga memaparkan mengenai fungsi pembuluh arteri dalam jantung sebagai pemasok darah bagi otot jantung (Cardiac Musculature). Penemuannya mengenai peredaran darah di paru-paru ini merupakan penemuan yang menarik. Sehubungan dengan hal itu, Nafis dianggap telah memberikan pengaruh besar bagi perkembangan ilmu kedokteran Eropa pada abad XVI. Lewat penemuannya tersebut, para ilmuwan menganggapnya sebagai tokoh pertama dalam ilmu sirkulasi darah.

Salah satu karya terbaik Ibnu Nafis adalah Commentary on the Anatomy of Canon of Avicenna (Syarah Tasyrif Qonuun). Buku ini merupakan rangkuman hasil pemikiran Ibnu Nafis mengenai anatomi, patologi, dan fisiologi. Karya tersebut berhasil mengungkap sebuah fakta ilmiah penting, yang kemudian diabaikan begitu saja, yaitu gambaran tentang peredaran darah paru-paru. Salah satu ilmuwan Barat yang mempelajari pengobatan Arab di Jerman menyatakan bahwa catatan tersebut merupakan salah satu karya ilmiah terbaik, meskipun sebelumnya telah ada teori yang hampir sama yang dilontarkan oleh Galen pada abad II. Teori tersebut menerangkan bahwa darah mengalir dari bilik kanan jantung ke bilik kiri jantung melalui pori-pori yang terdapat pada katup jantung.

Dalam teorinya, Galen juga menyebutkan bahwa sistem pembuluh vena terpisah dari sistem pembuluh arteri, kecuali terjadi kontak antara keduanya melalui pori-pori. Sebaliknya, Ibnu Nafis meyakini bahwa darah yang berasal dari bilik kanan jantung pasti mengalir ke bilik kiri jantung, namun tidak ada penghubung antara kedua bilik tersebut. Katup jantung tidak berlubang dan berpori sama sekali. Selain itu, Ibnu Nafis juga menambahkan bahwa darah dari bilik kanan jantung mengalir melalui pembuluh arteri ke paru-paru. Proses selanjutnya adalah darah tersebut bercampur dengan udara dan mengalir melalui pembuluh vena ke bilik kiri jantung.

Dalam bukunya, Ibnu Nafis menulis secara terperinci paru-paru itu terdiri dari unsur-unsur: cabang-cabang trachea (buluh pernafasan), cabang-cabang arteria venosa dan cabang-cabang vena arteriosa. Ketiga unsur-unsur tersebut dirangkaikan oleh jaringan lunak berpori.

Pentingnya vena arteriosa bagi paru-paru, tulis Nafis, adalah membawa darah yang telah dimurnikan dan dihangatkan oleh jantung bagian kanan. Darah tersebut lalu mengalir dalam cabang-cabang terhalus vena arteriosa hingga kantung-kantung udara (atau yang lebih populer dengan nama alveolus), sehingga bercampur dengan udara dan bergabung dengannya.

Sementara fungsi arteri venosa untuk paru-paru dengan demikian adalah membawa udara yang telah bergabung dengan darah, dari paru-paru dengan ke bilik kiri jantung. Di tempat inilah dihasilkan substansi vital dari percampuran dan gabungan tersebut.

Menurut Nafis, pendapat Ibnu Sina dalam kitabnya Al-Qonuun yang menyebutkan bahwa jantung terdiri dari 3 bagian tidaklah tepat. Jantung, kata Nafis, hanya memiliki 2 bilik saja, yakni kiri dan kanan. Antara keduanya tidak ada pori-pori apa pun. Bahkan dinding yang memisahkannya sangat tebal.

Pada konteks ini pula, ia melengkapi teori Sina yang menyatakan, jantung memperoleh makanan dari darah yang berasal dari bilik kanan. Sebenarnya hal ini tidak benar. Jantung, urai Nafis, mendapatkan makanan dari darah yang terdapat dalam pembuluh-pembuluh darah yang terbenam dalam substansi jantung tersebut, yang kemudian dikenal sebagai arteria koronaria.

Menurut Nafis, sumbatan pada pembuluh darah ini akan menyebabkan serangan jantung secara mendadak. Dari uraiannya tersebut dapat disimpulkan bahwa Nafis melihat jantung dan paru-paru secara konprehensif. Menurutnya, paru-paru dan jantung merupakan dua unsur tak terpisahkan dari suatu kesatuan yang kini lebih dikenali orang sebagai kardiopulmoner (sistem jantung paru-paru).

Uraiannya tentang hal ini amat menakjubkan dan dibenarkan jauh hari kemudian oleh berbagai penelitian mikro-anatomi. Tak hanya itu, penjelasan terperinci Nafis tentang peredaran paru-paru juga amat mengesankan dan terbukti dibenarkan oleh pembuktian penelitian di kemudian hari.

Menurut Dr. Sharif Kaf Al-Ghazal, dokter dan pendiri sekaligus anggota dewan eksekutif The International Society for History of Islamic Medicine, dalam tulisannya disitus Islamonline edisi Agustus 2002, bahwa penjelasan Nafis soal ini jauh sebelum Servetus mengungkapkannya (300 tahun sebelumnya), yang hanya menyinggung sepintas dalam suatu uraian tentang teologi.

Di atas semua teori yang telah ditemukannya itu, Ibnu Nafis telah membuktikan penemuan amat mengagumkan dalam dunia sains dan kedokteran yang mengilhami perkembangan dan kemajuan kedokteran modern.

Ilmuwan yang ulama ini wafat di Kairo, pada 1288 M. Nafis tak hanya produktif dalam karya, prestasi yang diraih Nafis dalam bidang kedokteran bahkan dinilai banyak kalangan menjadi titik tolak tak terhingga dalam dunia kesehatan secara umum. Bahkan, dalam bidang pengobatan, Nafis jauh lebih spektakuler dibanding Ibnu Sina yang dinilai sebagai Bapak Kedokteran modern itu.

Tak berlebihan memang pujian itu. Nafis misalnya dalam bidang pengobatan lebih membiasakan pada pola diet ketimbang obat-obatan yang rumit yang dianggap obat paten di masa itu. Memang ia tak hanya pandai berteori.

Ibnu Nafis juga kaya akan karya. Puluhan buku telah ia tulis, baik di bidang keislaman maupun kedokteran. Dalam bidang kedokteran misalnya, yang paling populer adalah berjudul Al-Kitab As Syamil fil Tibb (Kitab Lengkap dalam Bidang Kedokteran). Kitab ini dinilai amat mendasar dan besar pengaruhnya dalam sistem pengobatan modern.

Tak hanya itu, karya Nafis tersebut juga merupakan ensiklopedi kedokteran terlengkap, yang menurut Dr. Sharif Kaf Al-Ghazal, bila dirampung seluruhnya akan mencapai 300 jilid. Sayang ajal menjemputnya, kala itu. Hingga hayatnya, baru selesai 80 jilid. Beberapa di antara masih dapat dijumpai di perpustakan internasional, seperti di perpustakaan Bodley, Oxford. Karya Nafis lainnya, yakni Al-Mahaddah fil Al Kuhul. Kitab ini menguraikan tentang oftalmologi, yakni suatu penyakit mata. Ia juga menulis tentang makanan dan sistem diet.

Selain itu, ia juga menulis buku berjudul Syarah Fushul Ibungrat (soal aphorisme Hippocrates), buku Syarah Jaqdimat Makrifat (komentar tentang prognosis Hipprocrates). Ia menulis syarah Hunain Ibnu Ishaq, dokter besar yang menterjemahkan karya-karya Yunani ke bahasa Arab, berjudul Syarah Masail Hunain Ibnu Ishaq, serta Al Muiz Al-Tibb, dan Al-Hidayah fi Al-Tibb. Sebagian karyanya tersebut, telah dialihbahasakan keberbagai bahasa latin, seperti Italia, Perancis, Inggris, dan Rusia.

sumber:
Azyumardi Azra: Historiografi Islam Kontemporer (2002)
50 tokoh Muslim
www.google.com

0 Response to "Ibnu Nafis"

Posting Komentar

Silahkan berkomentar