Kontrakan Pak Edi dan Segala Tetek Bengeknya

Dari Amrizal Zuhdy S. untuk saudara seperjuangan, sekontrakan, dan “segila-gilaan”: Akhi Dhia Ulhaq dan Akhi Widodo Saputra. “Kita lanjutkan perjuangan kita di kontrakan yang berantakan, piring bertumpuk, menara sampah bertumbangan, baju-baju kotor menjadi permadani lantai, keset kaki menjadi tempat tidur anjing tetangga, ember berjejer ketika hujan, dan anak kucing mengeong di bawah monitor komputer”
“Peringatan! Tulisan ini adalah realita belaka. Jika memang ada kesamaan cerita dan tokoh maka memang itulah sebenarnya. Cerita ini diambil dari sudut pandang Amrizal Zuhdy S. Semoga dapat diambil hikmah dari cerita ini”
Kurun waktu 30 September 2009 sampai 8 Februari 2010 adalah rentang waktu yang cukup lama. Jika dihitung sekitar 131 hari (wuih….sekitar 4 bulan lebih kalau kalkulasinya tidak salah). Pada masa-masa itu adalah masa-masa sulit bagi penghuni kontrakan pak Edi. Masa kering yang berkemarau karena pada masa itu air PAM TIDAK JALAN.
Selama itu kami ini ditempa disiplin kebersihan diri dan lingkungan gaya militer (military based discipline). Bermodalkan air tanah yang disedot memakai pompa air. Air tanah di sini maksudnya adalah air yang benar-benar bercampur dengan tanah dibumbui dengan bau logam. Kami bertiga pun sepakat mengatai air ini sebagai air logam.
Segala aktivitas MCK (mandi, cuci, dan kakus) dan aktivitas lain yang berhubungan dengan air mau tak mau harus bersentuhan dengan air logam. Efek yang kami dapatkan adalah badan ‘bau tanah’ dan logam ketika kuliah, baju menguning apalagi yang putih, dan kulit jadi terserang dermatitis. Rambut pun ikut mengeras karena endapan tanah dan logam disertai gatal di kulit kepala. Kulit yang terwarnai pun tak terelakkan bak memakai kutek di acara walimahan.
Wah…. Harus sabar menghadapi semua itu. Ditengah suasana bau tanah dan gatal itu Allah memberikan pertolongan. Pak Edi si pemilik kos membuatkan saringan air. Alhamdulillah sekarang kami memiliki saringan air. Air sekarang menjadi lebih jernih dan hilang baunya. Namun, untuk mendapatkan air itu harus dengan kesabaran juga. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan air itu sebanyak satu ember jika dirata-ratakan sekitar ± 20 menit.
Dua puluh menit itu memang tidak masalah. Walaupun dengan waktu itu mencuci harus menjadi kegiatan harian (baca: dilaksanakan seharian penuh karena untuk membilasnya membutuhkan banyak air. Satu potong pakaian membutuhkan ± ½ ember meskipun itu sudah irit-irit). Mencuci piring juga menjadi kendala. Piring kotor tersusun bertingkat tak tercuci. Sesekali dipaksa mencuci dengan air logam. Alhamdulillah kami tidak mati memakai piring tersebut.
Dua puluh menit itu menjadi masalah ketika ada kuliah pagi. Sudah menjadi budaya di kontrakan pak Edi jadwal mandi itu sejam sebelum masuk kuliah. Maka air yang satu ember itu menjadi rebutan. Alhamdulillah rebutan terjadi jarang terjadi. Seorang saudara bersedia mandi dengan air logam itu (walaupun khawatir akan menjadi manusia logam) dengan bilasan terakhir dengan air yang jernih. Ketika dia asyik bermain dengan air logam maka air jernih itu mengisi ember untuk air bilasannya. Alhamdulillah seorang saudara yang lain sangat luarbiasa. Dengan setengah ember dia bisa mandi dan bersih. It’s Amazing! Yang lebih amazing lagi ketika aku yang madi duluan aku sering menyisakannya hanya ¼ ember saja , tapi dia berhasil mandi dan bersih! Wow, wonderful! Tak jarang seorang saudara tadi bertanya mengapa bisa begitu. Jawabnya adalah The Miracle of Water. Syukron akh atas kesabarannya!
Wah wah wah benar-benar kami mendapatkan hikmah yang berarti. Kami harus sabar dan kami harus hemat.
Namun, aku tetap manusia yang memiliki banyak persepsi pikiran. Entah dengan dua orang saudaraku (baca: aku bukan menyebutnya bukan manusia, tapi persepsi pemikiran mereka mungkin berbeda). Kadang terbersit di benak ini mengapa air belum jalan-jalan juga. Apa sebenarnya yang dilakukan PAM? Hati ini semakin panas ketika di komplek PJKA hanya kontrakan kami yang belum jalan. Sudah juga dilaporkan 2X oleh seorang saudara di tambah dengan 2X oleh Pak Edi, PAM hanya menjawab akan mengirim teknisi. Kesabaran diuji lagi dalam menunggu teknisi.
Sebulan kemudian datanglah seorang pegawai PAM yang membawa surat peringatan untuk membayar biaya PAM. Kami sudah nunggak tiga bulan dengan besar tunggakan Rp. 103.000,-. Pada saat itu kami tidak ada di rumah. Untung di ibu tetangga yang baik hati menyampaikan permasalahan sebenarnya dengan kontrakan pak Edi. Dan setelah itu barulah datang si teknisi dan memperbaiki segala sesuatunya dan Alhamdulillah baik kembali.
Sepulang kuliah sangat senang sekali melihat air keluar dari keran yang tela kering selama 4 bulan. Si ibu tetangga yang baik hati menceritakan kejadian semasa aku kuliah. Yang paling pertama muncul di kepalaku adalah apa maunya sih PAM ini? Kemarin sudah ada 4X complain kok baru datang sekarang. Itu pun didahului dulu oleh debt collector dari PAM. Waduh… gimana negara ini? Menzalii hak rakyatnya yang lemah ini.
Astagfirullah! Kalau dibaca ulang isinya kesabaran dan keikhlasan melulu. Tapi kalau di pikir-pikir adanya tulisan ini karena tidak adanya kesabaran dan keihklasan. Kalau begitu hapus aja tulisan ini. Tapi ga usah ah. Biar aja untuk di baca orang lain supaya pembaca lebih sabar dan ikhlas. Baik, kita harus menutup cepat-cepat tulisan ini. Tapi sebelumnya satu paragraph terakhir untuk kesimpulan.
Kesimpulan:
- Kita harus sabar dalam segala kondisi
- Kita harus ikhlas dalam segala kondisi
- Kita harus mampu beradaptasi dalam segala kondisi
- kita harus selalu bersyukur dalam segala kondisi
- Pokoknya dalam segala kondisi kita harus ingat Allah SWT
Peace…! Keep spirit dan istiqomah!
Wallahu ‘alam bishowab

Assalamu’alaikum wr. Wb.

(Amrizal, 2010: no editor: dalam mode berkreasi sebebas-bebasnya menghiraukan tata penulisan bahasa Indonesia)

3 Responses to "Kontrakan Pak Edi dan Segala Tetek Bengeknya"

Silahkan berkomentar