HUDZAIFAH IBNUL YAMAN (bagian I)




“Jika engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang Muhajir. Dan jika ingin digolongkan kepada Anshar, engkau memang seorang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”

Itulah kalimat yang diucapkan Rasulullah SAW kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, ketika dia pertama kali bertemu muka dengan beliau di Makkah. Mengenai pilihan itu, apakah dia tergolong Muhajirin atau Anshar, yaitu dua golongan yang dicintai kaum muslimin, mempunyai
kisah tersendiri bagi Hudzaifah.

Al-Yaman, ayah Hudzaifah, adalah orang Makkah dari Bani Abbas. Oleh karena suatu hutang darah dalam kaumnya, dia terpaksa menyingkir dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Di sana dia minta perlindungan pada Bani Abd Asyhal dan bersumpah setia pada mereka untuk menjadi keluarga dalam persukuan Bani Abd Asyhal.

Kemudian dia menikah dengan anak perempuan suku Asyhal. Dari perkawinannya itu lahirlah anaknya, Hudzaifah. Maka hilanglah halangan yang menghambat Al-Yaman untuk memasuki kota Makkah. Sejak saat itu dia bebas pulang pergi antara Makkah dan Madinah. Namun begitu, dia lebih banyak tinggal dan menetap di Makkah.

Ketika Islam memancarkan cahayanya ke seluruh jazirah Arab, Al-Yaman termasuk salah seorang dari sepuluh orang Bani Abbas untuk menemui Rasulullah SAW dan menyatakan  Islam di hadapan beliau. Segala peristiwa yang kita sebutkan itu terjadi sebelum hijrah Rasulullah ke Madinah. Sesuai dengan garis keturunan yang berlaku di negeri Arab, yaitu menurut garis keturunan bapak (patriarchal), maka Hudzaifah adalah orang Makkah yang lahir dan dibesarkan di Madinah.

Hudzaifah ibnul Yaman lahir di rumah tangga muslim, dipelihara dan dibesarkan dalam pangkuan kedua ibu bapaknya yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama. Karena itu Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah SAW.

Kemudian Hudzaifah hendak bertemu dengan Rasulullah SAW memenuhi setiap rongga hatinya. Sejak masuk Islam, dia senantiasa menunggu-nunggu berita, dan nyinyir bertanya tentang kepribadian dan ciri-ciri beliau. Bila hal itu dijelaskan orang kepadanya, makin bertambah cinta dan kerinduannya kepada Rasulullah.

Pada suatu hari dia berangkat ke Makkah sengaja hendak menemui Rasulullah. Setelah bertemu, Hudzaifah bertanya kepada beliau, “Apakah saya ini seorang muhajir atau Anshar, ya Rasulullah?” Jawab Rasulullah, “Jika engkau ingin disebut muhajir, engkau memang seorang muhajir; dan jika engkau ingin disebut Anshar, engkau memang orang Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.” Jawab Hudzaifah, “Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!.”

Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam perang Badar. Mengapa dia tidak turut dalam perang Badar? Soal ini pernah diceritakan oleh Hudzaifah.

Katanya: Yang menghalangiku untuk turut berperang dalam peperangan Badar karena ketika itu aku dan bapakku sedang pergi ke luar kota Madinah. Dalam perjalanan pulang, kami ditangkap oleh kaum kafir Quraisy. Tanya mereka, “Hendak ke mana kalian?” Jawab kami, “Ke Madinah!” Tanya mereka, “Kalian hendak menemui Muhammad?” Jawab kami, “Kami hendak pulang ke rumah kami, di Madinah!” Mereka tidak bersedia membebaskan kami kecuali dengan perjanjian bahwa kami tidak akan membantu Muhammad, dan tidak akan memerangi mereka. Sesudah itu barulah kami dibebaskannya.

Setelah bertemu dengan Rasulullah, kami ceritakan kepada beliau peristiwa tertangkapnya kami oleh kaum kafir Quraisy dan perjanjian dengan mereka. Lalu kami tanyakan kepada beliau, apa yang harus kami lakukan. Jawab Rasulullah, “Batalkan perjanjian itu, dan mari kita mohon pertolongan Allah untuk mengalahkan mereka!”

Dalam peperangan Uhud, Hudzaifah turut memerangi kaum kafir bersama-sama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam peperangan itu Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya tewas di Uhud, menjadi syahid. Bapaknya syahid oleh  pedang kaum muslimin sendiri, bukan oleh kaum musyrikin.

Ceritanya, pada hari terjadinya perang Uhud, Rasulullah SAW menugaskan Al-Yaman (ayah Hudzaifah) dan Tsabit bin Waqsy mengawal benteng tempat para wanita dan anak-anak, karena keduanya sudah lanjut usia. Ketika perang memuncak dan berkecamuk dengan sengit, Al-Yaman berkata kepada temannya, “Bagaimana pendapatmu; apalagi yang harusk ita tunggu. Umur kita hanya tinggal selama menunggu keledai puas minum. Kita mungkin saja mati hari ini atau besok. Apakah tidak lebih baik kita ambil pedang lalu menyerbu ke tengah-tengah musuh membantu Rasulullah. Mudah-mudahan Allah SWT memberi kita rezeki menjadi syuhada bersama-sama dengan Nabi-Nya.” Lalu keduanya mengambil pedang mereka, dan terjun ke arena pertempuran. Tsabit bin Waqsy memperoleh kemuliaan di sisi Allah. Dia syahid di tangan kaum musyrikin. Tetapi Al-Yaman bapak Hudzaifah menjadi sasaran pedang kaum muslimin sendiri, karena mereka tidak mengenalnya. Hudzaifah berteriak, “Itu bapakku…! Itu bapakku…!” Tetapi sayang, tidak seorang pun yang mendengar teriakannya., sehingga bapaknya jatuh tersungkur oleh teman-temannya sendiri. Hudzaifah tidak berkata apa-apa, kecuali hanya berdoa, “Semoga Allah SWT mengampuni kalian; Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Rasulullah SAW memutuskan untuk membayar tebusan darah (diyat) bapak Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Kata Hudzaifah, “Bapakku menginginkan supaya dia mati syahid. Keinginannya itu kini telah dicapainya. Wahai Allah! Saksikanlah, sesungguhnya aku menyedekahkan diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.” Maka dengan pernyataannya itu, penghargaan Rasulullah terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam.

Rasulullah SAW menilai, dalam pribadi Hudzaifah ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan yang menonjol: pertama, cerdas tiada bandingan, sehingga dia dapat meloloskan diri dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga, cermat, memegang rahasia, dan berdisiplin tinggi; sehingga tak seorang pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.

Sudah menjadi salah satu kebijaksanaan Rasulullah, berusaha menyingkap keistimewaan para shahabatnya, dan menyalurkannya sesuai dengan bekat dan kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing mereka. Yakni menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.

Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah adalah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat, yang dilancarkan mereka terhadap Rasulullah dan para sahabat. Maka dalam menghadapi kesulitan itu, Rasulullah mempercayakan suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah ibnul Yaman, dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya.

Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik kepada para sahabat yang lain atau kepada siapa saja. Dengan mempercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Dan karena itu, Hudzaifah ibnul Yaman digelari oleh para sahabat dengan “Shahibu Sirri Rasulullah” (Pemegang rahasia Rasulullah).

0 Response to "HUDZAIFAH IBNUL YAMAN (bagian I)"

Posting Komentar

Silahkan berkomentar